Surat untuk Anisa
Rizal secara resmi mengambil alih tugas Anisa di Media Rakyat Bima. Kamar Anisa ia ubah menjadi ruang kerjanya. Rizal tidak hanya menjadi jurnalis; ia menjadi mentor dan pelindung bagi Dani, Sinta, dan Irwan.
Rizal menerapkan protokol keamanan yang ketat dan etika jurnalisme yang ia sebut “Jurnalisme Empati Anisa” Meliput dengan kebenaran yang kejam, tetapi menulis dengan hati yang lembut.
Rizal memimpin tim untuk menggarap kasus-kasus yang Anisa tinggalkan. Salah satunya adalah program pendidikan perempuan di Teta, sebuah wilayah pegunungan yang sulit dijangkau.
Rizal menghadapi kesulitan beradaptasi dengan ritme Bima yang lambat. Untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat Teta, ia tidak bisa hanya datang dengan kamera; ia harus datang dengan permohonan yang disampaikan melalui tokoh adat setempat. Ia belajar bahwa di Bima, kecepatan Jakarta tidak berlaku—yang berlaku adalah pendekatan adat dan kesabaran. Ia harus berjuang dengan birokrasi, adat, dan bahasa yang berbeda.
“Aku harus belajar bahasa Bima, Nis,” bisiknya setiap malam di depan foto Anisa. “Aku harus mengerti mereka seutuhnya.”
Setiap malam, Rizal melakukan ritual yang aneh namun menenangkan: menulis surat untuk Anisa di Langit Bima.
Surat-surat ini adalah cerminan pertumbuhannya dari duka yang menghancurkan menjadi ketenangan yang bertujuan. Awalnya, surat itu dipenuhi kesedihan dan penyesalan.
“Nis, aku gagal menjagamu. Aku gagal jadi suamimu. Aku gagal jadi rumahmu.”
Namun, seiring waktu, surat itu bertransformasi menjadi laporan harian tentang kemajuan Misi Fatma, status kasus tambang, dan kesulitan yang ia hadapi.
“Nis, hari ini Ayahmu akhirnya luluh. Fatma sudah mulai belajar dengan tekun. Aku tahu kamu tersenyum di sana. Hari ini aku juga berhasil membujuk tokoh adat Teta. Kita akan memulai programmu, Nis.”
Ritual surat ini membantu Rizal menerima takdirnya. Anisa tidak hilang; ia bertransformasi menjadi tujuan hidup Rizal. Cinta mereka tidak mati; ia berubah menjadi dedikasi abadi kepada Bima.
Setelah dua tahun berselang, kasus tambang yang mereka perjuangkan mencapai puncaknya. Pejabat tinggi yang terlibat dalam skandal divonis bersalah. Kemenangan ini adalah penegasan bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.
Pada tahun kedua Rizal menetap di Bima, ia menerima undangan dari Dewan Pers. Laporan investigasi yang ia mulai bersama Anisa, yang ditutup dengan tragedi Anisa, memenangkan Penghargaan Jurnalistik Terbaik di Indonesia
Rizal terpaksa kembali ke Jakarta, bukan karena pekerjaan, tetapi untuk menerima penghargaan. Di atas panggung yang megah, Rizal yang kini terlihat lebih tenang dan matang, menyampaikan pidato yang mengharukan.
Ia tidak berbicara tentang dirinya sendiri. Ia berbicara tentang Anisa.
“Saya berdiri di sini bukan mewakili diri saya, tetapi mewakili seorang jurnalis lokal Bima, Anisa. Keberanian ini adalah miliknya,” kata Rizal.
Rizal mengakhiri pidatonya dengan mengutip penuh kalimat terakhir dari surat Anisa:
“Aku titip Bima padamu. Jangan pulang ke Jakarta. Aku akan selalu menjadi Penjaga terbaik yang Bima miliki.”
Tepuk tangan membahana. Rizal kembali ke Bima dengan membawa piala penghargaan, yang ia letakkan di samping foto Anisa di “Ruang Komando Jurnalistik”—sebagai pengakuan bahwa Bima dan idealisme Anisa telah mengubah hidupnya.
Ia kini sepenuhnya menerima takdir barunya sebagai Penjaga Bima.
***








