Bima, Berita11.com— Akademisi Universitas Muhammadiyah Bima, Fajrin Hardinandar menyorot belanja modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bima yang menurutnya hingga memasuki semester kedua tahun 2025 hanya terserap 3,79 persen.
Menurut akademisi penerima beasiswa S3 dari Pemerintah Taiwan yang sedang menempuh Program Doktoral di National Dong Hwa University Taiwan (NDHU) ini, realitas belanja modal Kabupaten Bima yang baru terserap 3,79 linear dengan indikator investasi (pembentukan modal tetap bruto/ PMTB) di Kabupaten Bima.
Pada sisi lain, belanja pegawai Kabupaten Bima per Juni 2025 tembus Rp411 miliar atau 36,98% dari target belanja.
“Ya pantas saja, PMTB (indikator investasi) Kabupaten Bima anjlok -1,37 persen. Serapan belanja modal rendah, pasti PAD sulit bergerak, yang terjadi crowding out, sektor swasta bergerak melambat karena belanja pegawai dan belanja modal begitu timpang,” katanya saat dihubungi Berita11.com, Selasa (29/7/2025).
Menurut Fajrin, kondisi tersebut memiliki sejumlah dampak. Serapan belanja modal yang tidak sebesar belanja pegawai, posisinya sangat penting karena memiliki keterkaitan (forward lingkages) yang tinggi terhadap penciptaan lapangan kerja. “Crowding out, di mana belanja modal yang begitu timpang terhadap belanja pegawai bisa berdampak pada meningkatnya pengangguran, setengah pengangguran, pekerja paruh waktu, freelancer, dan sebagianya,” ujarnya.
Dikatakannya, Bupati Bima dan Wakil Bupati Bima harus diingatkan agar tidak hanya sibuk mengatur formasi birokrasi dalam rencana mutasi pejabat.
Fajrin menilai Pemkab Bima hingga saat ini belum memiliki visi ekonomi yang kuat. Ia menyorot visi pemimpin masih tumpul terutama terhadap persoalan ekonomi di Kabupaten Bima.
Ia menyebut, realisasi pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Bima terendah se-Provinsi NTB. Realitas tersebut dapat menjadi rapor merah bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah yang baru memimpin.
Disebutkannya, hingga Mei 2025, realisasi PAD Kabupaten Bima tercatat hanya sebesar 1,85 persen. “Angka yang sangat memprihatinkan mengingat kita hampir memasuki semester kedua. Kondisi ini jauh tertinggal dari rata-rata capaian PAD kabupaten/kota se-Provinsi NTB yang sudah mencapai 30%, bahkan lebih rendah dibandingkan daerah tetangga seperti Kabupaten Dompu (30,86%) dan Kota Bima (32,20%),” ujarnya.
Dari sisi komposisi PAD, Kabupaten Bima menetapkan target retribusi daerah sebagai sumber pendapatan terbesar, namun hingga Mei 2025 realisasinya hanya 0,22%. Hal tersebut sangat kontras dengan Kota Bima, yang juga menjadikan retribusi sebagai sumber utama PAD, namun telah berhasil mencapai realisasi 40,02% pada pos yang sama. “Kedua daerah ini memiliki struktur PAD yang serupa, namun kinerjanya sangat timpang,” sebutnya.
Hingga kuartal pertama tahun 2025, kata dia, perekonomian Kabupaten Bima mengalami kontraksi dari sisi pengeluaran, terutama pada komponen PMTB sebesar -1,37% (y-on-y). “Ini merupakan kontraksi terdalam sejak 2022, menandai pertama kalinya PMTB Kabupaten Bima mencatat angka negatif dalam periode yang sama selama tiga tahun terakhir,” ujarnya.
Menurut Fajrin, berdasarkan model empiris (Barro-type regression), ketika belanja modal menurun, kemampuan daerah menciptakan nilai tambah ekonomi juga ikut melemah. Hal tersebut bisa menyebabkan efek bola salju, pendapatan retribusi stagnan, konsumsi masyarakat menurun, hingga PAD tak bergerak.
“Namun dalam kasus ini, belanja modal Kabupaten Bima melum bergerak signifikan padahal hampir memasuki semester kedua, dan konsumsi masyarakat tumbuh signifikan 3,72 persen,” ujarnya.
Menurut dia, jika realitas kondisi ekonomi Kabupaten Bima saat ini sedang berada di titik nadir merupakan warisan pemerintahan sebelumnya, hal itu tidak relevan karena jika ditarik ke belakang, nyaris belum pernah terjadi serapan PAD di bawah 2 persen dalam lima bulan pertama, bahkan ketika terjadi transisi pemerintahan sebelumnya.
“Demikian pula, kontraksi PMTB belum pernah setajam ini, bahkan pada tahun-tahun dengan tekanan fiskal tinggi,” ujar dia.
Setelah transisi kekuasaan, sering terjadi penyesuaian anggaran dan restrukturisasi birokrasi yang berdampak langsung pada pelambatan aktivitas fiskal. Namun, efek ini biasanya hanya menurunkan kecepatan serapan pendapatan hingga 10–15%, bukan ke level serendah 1,85%.
“Maka dari itu, kondisi ini lebih tepat disebut sebagai kegagalan manajerial, bukan semata efek transisi,” ujar Fajrin.
Ia menambahkan, jika pada kondisi yang bersamaan angka ketimpangan meningkat, maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan baru Kabupaten Bima ekstraktif secara ekonomi, karena mesin ekonomi dan politiknya macet untuk menghasilkan kinerja fiskal yang baik.
“Paling tidak laporan semester I tahun ini sudah cukup untuk dengan tegas menyatakan bahwa pemerintahan baru kabupaten Bima perlu memperkuat visi, bukan perkuat Buzzer,” tandasnya. [B-19]