Penulis: Feri Rahu (Kader GMNI)
Kongres Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang digelar di Bandung belum lama ini justru membuka borok perpecahan dalam tubuh organisasi yang mengusung semangat nasionalisme Soekarnois. Di balik kericuhan, molornya sidang, dan saling tuding antar kubu, banyak pihak mulai bertanya: apakah ini murni konflik internal, atau ada ‘tangan-tangan’ negara yang ikut bermain?
GMNI bukan sekadar organisasi mahasiswa biasa. Sejak berdirinya, ia mewarisi semangat Bung Karno: antikolonial, berdiri di atas kaki sendiri, dan menolak tunduk pada kekuasaan modal. Karena itu, GMNI kerap jadi batu sandungan bagi kekuatan status quo. Maka, ketika GMNI terbelah dan lumpuh oleh konflik internal, yang diuntungkan jelas bukan gerakan mahasiswa itu sendiri—melainkan kekuatan di luar yang berkepentingan agar nasionalisme Soekarnois tetap tercerai-berai.
Taktik Lama, Pola Baru
Dalam sejarah politik Indonesia, intervensi negara terhadap kekuatan sipil bukanlah hal baru. Dari era Orde Lama hingga Reformasi, banyak organisasi mahasiswa, buruh, dan rakyat yang coba dibelah dari dalam. Pecah-belah dan adu domba adalah taktik lama yang masih relevan hingga hari ini. Yang membedakan hanyalah metode: kini, intervensi lebih halus—melalui pembiayaan, infiltrasi kader, hingga permainan narasi di media.
Kongres GMNI di Bandung menunjukkan tanda-tanda itu. Ada kabar tentang dana misterius, pemaksaan akomodasi tertentu, hingga ‘tangan pengatur’ yang mencoba menentukan siapa yang layak menang. Ketua umum yang kabur saat sidang LPJ, mosi tidak percaya, hingga dugaan penghilangan palu sidang—semuanya tampak seperti skenario chaos yang dirancang agar GMNI gagal konsolidasi.
Kenapa GMNI yang Diserang?
GMNI punya posisi strategis. Ia punya sejarah panjang melahirkan tokoh-tokoh nasional, kader-kader politik, dan pemikir kiri yang vokal. Dalam peta gerakan mahasiswa, GMNI mewakili kutub yang ideologis dan berakar. Jika GMNI berhasil solid, bukan tidak mungkin ia jadi ujung tombak kebangkitan nasionalisme baru yang berani menantang oligarki dan kekuasaan yang korup.
Maka wajar jika ada upaya melemahkan dari dalam. Pecahnya GMNI membuat semangat nasionalisme Soekarnois kehilangan rumah. Dari luar, publik melihat GMNI tidak lebih dari sekumpulan mahasiswa yang rebutan jabatan dan dana kongres. Padahal di dalamnya, yang sedang dipertaruhkan adalah masa depan ideologi kerakyatan.
Saatnya Refleksi
Perpecahan GMNI bukan sekadar soal kongres molor atau palu yang hilang. Ini soal bagaimana gerakan ideologis rentan dihancurkan melalui infiltrasi dan pembelahan. Negara, dalam bentuk aparat, intel, atau bahkan institusi resmi, tidak bisa dikecualikan sebagai pihak yang mungkin ikut bermain.
Jika nasionalisme Soekarnois ingin tetap hidup, ia harus bangkit dari kerapuhan struktural. GMNI dan organisasi sejenisnya perlu memperkuat integritas internal, memperbarui metode kaderisasi, dan membangun kembali kepercayaan rakyat. Sebab sekali gerakan mahasiswa tunduk pada intervensi negara, maka selesailah sudah harapan akan perubahan sejati dari akar rumput (*)
Follow informasi Berita11.com diGoogle News