Calistung Masalah Serius, Dr Ikhlas: Program Literasi hanya Habiskan Anggaran, Anak Dieksploitasi

Dr Ihlas Hasan. Foto Ist.
Dr Ihlas Hasan. Foto Ist.

Bima, Berita11.com— Akademisi Insitut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Bima, Dr Ikhlas Hasan menyorot tagline literasi yang jauh panggang dari api, karena belum menyentuh substansi permasalahan pendidikan seperti temuan anak yang belum menuntaskan kemampuan dasar menguasai aksara hingga tingkat sekolah menengah di Kabupaten Bima.

Menurutnya, seharusnya siswa sudah menuntaskan keaksaraan awal, memiliki kemampuan dasar-dasar menghitung dan menulis atau yang selama ini dikenal kemampuan membaca, menulis dan berhitung (Calistung) sejak level sekolah dasar.  Potret buram bahwa masih ada anak yang belum menuntaskan masalah keaksaraan hingga jenjang sekolah menengah, bahkan hingga jenjang sekolah menengah atas (SMA), menunjukan masalah serius lembaga pendidikan di daerah.

Bacaan Lainnya

Ikhlas juga mengafirmasi fakta-fakta yang diungkapkan sejumlah guru di Kabupaten Bima bahwa masih banyak siswa hingga jenjang sekolah menengah masih terbata-bata membaca atau bermasalah dengan keaksaraan dasar.

“Saya sepakat yang menyebut dalam sampel satu dua orang, (baru sebagian) yang muncul di permukaan, sesungguhnya masih banyak anak-anak yang tidak bisa membaca pada level SMP dan SMA. Kalau SD dan PAUD kita masih bisa tolerir, karena pada usia tersebut anak-anak masih pada usia bermain sambil belajar,” ujar Dr Ikhlas melalui layanan media sosial whatshapp kepada Berita11.com, Selasa (10/1/2023).

Dikatakannya, Calistung adalah kompetensi dasar yang harus dimiliki anak dan seharusnya tuntas pada jenjang sekolah dasar. Pada era merdeka belajar yang dipelopori Mendikbudristek Republik Indonesia, Nadiem Makarim dan ditindaklanjuti dengan kurikulum merdeka belajar, seharusnya bukan lagi sekadar mengasah kemampuan membaca.

“Membaca konteksnya sekarang itu bagaimana menembuhkan kecerdasan dan kreativitas serta keterampilan berfikir anak. Bukan lagi soal anak mulai dilatih membaca atau mengeja. Artinya harapan dengan kenyataan merdeka belajar dengan situasi di lapangan itu memang jaraknya (gap) cukup jauh,” ujarnya.

Temuan adanya siswa hingga jenjang SMA terbata-bata membaca dan tidak bisa membaca sama sekali adalah fakta yang mencengangkan bagi institusi pendidikan. Menurut Ikhlas, institusi pendidikan harus segera dibenahi, terutama jenjang sekolah dasar. Jika anak tidak bisa membaca hingga jenjang SMP maupun jenjang berikutnya, maka patut ditanyakan tugas guru pada tingkat SD.

BACA JUGA:  Curi 4 Laptop Sekolah demi Beli Narkoba, Remaja ini Diciduk Tim Opsnal Brimob

“Mohon maaf misalnya kalau diasumsikan peran orang tua (mendidik anak) itu benar, tetapi urusan membaca itu kan urusan yang nyata tugas kurikulum, harus diselesaikan oleh guru. Kalau pendidikan karakter siswa memang peran orang tua dan guru, namun menyangkut kemampuan membaca peran institusi pendidikan,” ujarnya.

“Pertanyaan sekarang anak yang bisa sampai jenjang SMP dan SMA, kenapa bisa naik kelas? di mana fungsi guru, wali kelas dan kepala sekolahnya? Mengevaluasi tahapan- tahapan perkembangan siswa. Ini yang jadi pertanyaan besar,” tandasnya.

Program Literasi hanya Habiskan Anggaran, Anak Dieksploitasi

Dr Ikhlas Hasan juga menyorot program literasi, karena belum menyentuh substansi permasalahan pendidikan seperti di Kabupaten Bima. Program itu justru hanya menjadikan anak sebagai objek eksploitasi.

“Jadi program masyarakat literat itu jangan sampai mengelabui masarakat. Ndak usahlah menghabiskan banyak anggaran, namun faktanya anak itu menjadi bahan eksploitasi. Anggaran program literasi itu program-program dengan dana besar yang didanai oleh NGO dan pemerintah. Jadi seolah anak-anak menjadi komoditi yang dikapitalisasi, tapi tidak menyelesaikan masalah-masalah fundamental tadi,” ujarnya.

Doktor jebolan Universitas Negeri Jakarta itu menegaskan, sekolah harus hadir memberikan layanan maksimal dan memastikan siswa mengusai dan memiliki kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung. Guru kelas dan wali kelas harus berpedoman kepada instrumen penilaian untuk mengkonfirmasi perkembangan siswa.

“Kalau anak itu mengalami hambatan, maka hambatan itu harus diselesaikan secara psikologis maupun pendekatan-pendekatan dalam dunia pendidikan yang lainnya. Maka secara umum, saya ingin memberikan pandangan, program literasi itu saya setuju sekali, itu masih berupa istilah semacam gagah-gagahan saja atau program booming tapi tidak menyentuh substansi dan itu sangat disayangkan sekali,” ujarnya.

Seharusnya kata Dr Ikhlas, program literasi menjawab atau menuntaskan berbagai persoalan dalam institusi pendidikan, terutama Calistung yang merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa sebelum naik ke jenjang sekolah menengah. Beberapa permasalahan yang harus dituntaskan misalnya sarana pendidikan yang seharusnya memadai. Misalnya media pembelajaran, sumber atau bahan ajaran, sehingga guru yang mengajar juga bisa maksimal melaksanakan tugasnya.

“Jangan-jangan literasi itu berada di atas kertas, berada di atas media. Bicara di pangung (soal) masyarakat literasi, tapi sesungguhnya yang ada di lapangan atau sekolah tidak tersentuh atau mungkin saja di SD dan SMP itu tidak tersedia sarana pendidikan yang memadai untuk menunjang proses literasi kepada anak,” ujarnya.

BACA JUGA:  Gaduh Sesama Teman Pesta Miras, Pemuda di Bima Nyaris Dikeroyok Warga

Dr Ikhlas juga mengatakan, peran orang tua penting dalam merangsang kamampuan anak. Namun tidak bisa menyalahkan orang tua. Terlebih jika anak yang bermasalah dengan kemampuan Calistung, khususnya aksara, berasal dari keluarga ekonomi terbelakang.

“Masyarakat miskin anak terlantar itu dilindungi oleh Negara. Bagiamana kalau anak itu tidak punya orang tua, apakah harus kita salahkan orang tua? Dia tidak punya kakek nenek atau punya nenek tapi dia tidak punya konsep-konsep kompetensi pengasuhan kependidikan untuk mendidik anak-anak untuk bisa membaca dan menulis. Ini juga tidak bisa kita salahkan,” tandasnya.

Dr Ikhlas menyarankan stake holder terutama pemerintah lingkup struktural dan fungsional seperti dinas berkaitan mengembalikan fungsi pendidikan dengan mengoptimalisasi peran institusi pendidikan dalam menyelesaikan tiga kompetensi dasar siswa, membaca, menulis dan berhitung. Guru juga harus dipastikan melaksanakan evaluasi pembelajaran sesuai indikator-indikator yang lazim.

“Jangan sampai kegitan belajar berlangsung begitu saja tanpa evaluasi yang baik, evaluasi yang cermat atau autentik. Tanpa evaluasi yang baik dan perencanaan yang baik, maka tidak akan ada hasil yang baik, karena asumsinya kenapa anak itu bisa naik kelas? Apalagi sampai ke jenjang lebih lanjut, sementara belum selesai pada persoalan Calistung,” katanya.

Ditambahkannya, guru harus benar-benar hadir sebagai katalis dan sebagai fasilitator pembelajaran. Sebagaimana perspektif kurikulum merdeka belajar, guru harus menggali potensi peserta didik.

“Guru sebagai fasilitator, pemimpin pembelajaran dan sebagai katalis, sehingga nanti tidak ada anak-anak yang tidak bisa membaca lagi, tidak ada anak yang tidak tergali potensinya. Semua tergali potensinya, karena dalam perspektif pendidikan, filosofinya tidak ada anak yang tidak cerdas, semua anak itu cerdas, tetapi sesuai potensi dan kompetensi mereka,” pungkasnya.

Pada bagian lain, mantan Wakil Kepala Sekolah Urusan Humas SMKN Pertanian Pembangunan Kota Bima, Muhammadin SP mengungkapkan rasa prihatinya adanya siswa yang terbabata-bata membaca maupun sama sekali tidak bisa membaca sebagaimana diungkapkan sejumlah guru dan pimpinan satuan pendidikan di wilayah Kabupaten Bima. “Mohon maaf saya pernah ngurus dunia kependidikan. Kondisi ini sangat membuat kita prihatin, sudah lama kondisi ini baru terungkap saat ini. Ketidaktuntasan ini mulai dari tk (tingkat) sekolah dasar,” ujar Muhammadin melalui group whatshapp (WAG) Berita11.com. [B-22/ B-17]

Pos terkait