Berita11.com— If you look at many adverts for lecturing posts in my academic discipline of documentary production, for example, more often than not universities are happy to receive applications from “industry practitioners” with no PhD but a level of professional experience that is commensurate with one.
It is obviously beneficial for students to be taught by those who have solid industry backgrounds.
Dosen di Universitas Northwestern, AS, Joseph Epstein yang telah mengajar selama 30 tahun menyebutkan bahwa pengalaman industri mungkin tak cukup untuk seorang doktor di universitas.
Dia menyinggung gelar doktor yang banyak disematkan pada orang-orang di pemerintahan atau posisi penting di sebuah industri. Itu dia tulis dalam artikel di Wall Street Journal.
Epstein mempertanyakan validitas dasar seseorang yang mendapatkan PhD, terutama di bidang humaniora. Dia menyarankan orang-orang yang telah memperoleh gelar tersebut, terutama dalam beberapa dekade terakhir, harus berhati-hati tentang hal itu, karena menurutnya, kondisi saat ini seolah-olah mewajibkan seseorang yang penting untuk memiliki gelar PhD.
“Saya telah membaca artikel yang menyarankan bahwa gelar doktor dapat menjadi penghalang untuk pekerjaan, karena pemberi kerja melihat di dalamnya seseorang yang pasti gila untuk menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar pada tingkat intensitas itu,” ucap Epstein.
Menurut Epstein saat ini, ada banyak lowongan di perguruan tinggi yang mulai melirik praktisi industri tanpa gelar PhD untuk mengajar dibandingkan dengan orang yang mungkin memiliki disiplin akademik tinggi. Sementara pada sisi lain banyak iklan menetapkan persyaratan bagi orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan gelar PhD dalam waktu lima tahun, tetapi, dalam praktiknya, banyak dosen yang tidak pernah memulainya.
“If you look at many adverts for lecturing posts in my academic discipline of documentary production, for example, more often than not universities are happy to receive applications from “industry practitioners” with no PhD but a level of professional experience that is commensurate with one,” ujarnya.
“Saya bahkan pernah mendengar tentang seorang dosen universitas yang tidak memiliki gelar pertama; bagaimana bisa ketika guru sekolah menengah pun diharuskan memilikinya?” kata Epstein.
Kendati demikian dia menggarisbawahi mahasiswa yang diajar oleh praktisi industri mungkin mendapatkan manfaat yang solid dan relevan dengan keilmuan yang sedang dipelajari.
Selain menurut dia, tidak mudah menilai tingkat pengalaman industri apa yang sepadan dengan gelar PhD. Jadi jika tokoh industri mendapatkannya dengan cara tradisional, itu memecahkan setidaknya satu masalah.
“Tapi membicarakan hal ini sering kali mengarah pada tuduhan elitisme atau keangkuhan intelektual, dan wajar jika kedua hal ini terus-menerus dipertanyakan,” katanya.
Menurutnya dia, hal itu bukan untuk mengartikan pakar industri tidak menyumbangkan penelitian yang berharga. Namun, pada saat penelitian, terutama dalam sains, tampak begitu penting dan pemerintah tampaknya memikirkan kembali pandangannya tentang para ahli, gelar PhD tampaknya lebih relevan dari sebelumnya.
Sebab, kata dia, melalui PhD-lah budaya penelitian yang dinamis dapat eksis. Dalam hal ini, gelar doktoral tidak hanya bermanfaat bagi perolehan pengetahuan dan komunikasi tetapi juga pengajaran karena para siswa diajar oleh mereka yang mengetahui cukup banyak tentang mata pelajaran mereka.
Praktisi Mengajar di Indonesia
Sebelumnya Pemerintah Indonesia meluncurkan Program Praktisi Mengajar sebagai inisiatif untuk menghadirkan pengalaman industri ke dalam ruang kelas. Program ini bertujuan untuk memberikan wawasan praktis kepada siswa dalam hubungan antara teori dan aplikasi di dunia kerja.
Pada Juni 2022 lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) kembali meluncurkan Merdeka Belajar Episode Kedua Puluh: Praktisi Mengajar.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, mengajak para profesional dan ahli di berbagai bidang untuk turut memajukan pendidikan Indonesia dengan turut bergabung dan bergerak bersama menjadi Praktisi Mengajar.
“Kami mengajak seluruh praktisi dan tenaga ahli di seluruh lini industri untuk berkolaborasi dalam Praktisi Mengajar. Lewat partisipasi aktif, mari kita ciptakan bersama sumber daya manusia unggul dan kompetitif di kancah global,” ucap Nadiem saat meluncurkan Merdeka Belajar Episode Kedua Puluh, Jumat (3/6/2022) lalu.
Nadiem berharap bimbingan dan didikan dari para praktisi dapat berkontribusi munculnya para lulusan yang memiliki kompetensi tinggi, punya kepemimpinan, mampu memecahkan masalah, komunikatif, dan adaptif terhadap dinamika dunia kerja.
Berdasarkan data International Labour Organisation, saat ini terdapat 13,4 juta praktisi ahli di Indonesia, dan sekitar 50 persennya tertarik mengajar di kampus, jika ada undangan dari dosen, ada waktu yang cocok, dan diberikan insentif yang adil. Oleh karenanya, Praktisi Mengajar diluncurkan untuk mempercepat kesiapan mahasiswa masuk ke dunia kerja, dengan kolaborasi antara perguruan tinggi, dosen, dan praktisi di ruang kelas.
“Sebenarnya selama ini sudah banyak praktisi yang mengajar di kampus, dan bahkan tidak sedikit yang sifatnya sukarela. Program Praktisi Mengajar kami rancang untuk meneruskan praktik baik tersebut dengan meningkatkan kolaborasi antara praktisi dan pihak perguruan tinggi,” kata Nadiem.
Mantan CEO perusahaan rintisan itu berharap perguruan tinggi mengundang praktisi ahli terbaik di bidang masing-masing. Misalnya mengundang CEO atau pemimpin perusahaan skala internasional, nasional, maupun regional; pendiri usaha rintisan yang sudah memperoleh pendanaan besar; atau profesional, praktisi senior, atau manajer senior yang telah memiliki sertifikat teknis internasional. [US]
Follow informasi Berita11.com di Google News