Surat dari Anisa

Cover/ Ilustrasi.
Cover/ Ilustrasi.

Kota Tepian Air dan Bayangan Masa Lalu

 

Bacaan Lainnya

Rizal tiba di Pelabuhan Lembar pagi hari, tetapi tidak langsung melanjutkan perjalanan ke Bima. Ia memutuskan singgah di Mataram, kota yang menjadi saksi bisu lima tahun hidupnya pasca-kehilangan orang tua.

Ia menyewa mobil sebentar, berkendara menuju Jalan Majapahit, lokasi kampus lamanya, Universitas Mataram. Kampus itu tampak sama, gerbang tinggi, deretan pohon trembesi yang teduh. Di Fakultas Teknik, Rizal berjalan pelan, mengenang betapa mati rasanya ia dulu saat kuliah—hanya hadir secara fisik, tetapi jiwanya masih di Jakarta, terkunci dalam duka. Ia dulu melampiaskan kesepiannya pada kegiatan Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam), bukan karena cinta alam, tetapi karena ingin terus bergerak agar pikirannya tak sempat berhenti dan meratapi.

Setelah dari kampus, ia mengunjungi Pamannya, Aris, seorang pejabat eselon tiga di Kantor Pemerintah Provinsi NTB. Paman Aris menyambutnya dengan hangat di rumah dinas yang asri.

“Aku pikir kau sudah lupa jalan pulang, Zal,” sapa Paman Aris sambil memeluknya.

“Hanya mampir sebentar, Paman. Tugas kantor di Bima,” jawab Rizal.

Di meja makan, Paman Aris menatap Rizal dengan tatapan seorang ayah. “Bima, ya? Daerah yang keras, Nak. Bukan Lombok yang santai.”

Paman Aris, dengan aksesnya pada informasi internal Pemprov, memberikan peringatan yang sangat penting. “Aku tahu kau meliput pernikahan dini. Itu penting. Tapi di Bima, ada isu yang lebih berbahaya dan jauh lebih besar. Proyek konsesi tambang di selatan. Jaringan politik di sana sangat terstruktur. Jangan pernah sentuh itu, Zal. Jangan cari masalah yang bisa membahayakan nyawamu.”

Rizal, sang jurnalis, justru merasa tertantang. Peringatan itu mengonfirmasi bisikan-bisikan yang ia dengar di Jakarta. Ia berjanji akan berhati-hati, tetapi jauh di lubuk hati, ia tahu tambang itu adalah magnet yang tak bisa ia hindari.

Setelah berpamitan dengan pamannya, Rizal memesan tiket bus malam menuju Bima. Ia membawa bekal informasi ganda, perlunya kehati-hatian dalam konflik politik, dan keharusan untuk memahami budaya lokal yang ia dapatkan dari Anisa.

Perjalanan bus malam Lombok menuju Bima adalah ritual peralihan. Rizal terombang-ambing sepanjang malam melintasi Sumbawa. Pukul 06.00 WITA, bus berhenti di Terminal Dara, Kota Bima. Udara pagi terasa lembap, tetapi memiliki aroma yang berbeda—aroma laut, tanah kering, dan debu.

Rizal turun, tubuhnya lelah. Ia mengeluarkan ponsel, bersiap menghubungi Anisa, berharap dapat mengatur pertemuan.

BACA JUGA:  Usai Aksi Bersih Sampah Sisa Konser, Slankers Kota Bima Deklarasi Dukung Ganjar-Mahfud

Tiba-tiba, sebuah suara renyah menyambutnya. “Kak Rizal!”

Dari kejauhan, seorang perempuan muda melambaikan tangan dengan senyum lebar. Dialah Anisa. Ia mengenakan kemeja denim kasual, tampak lebih real dibandingkan sosok misterius di atas Ferry.

“Anisa! Wah, kamu datang menjemput? Aku baru mau menghubungimu,” tanya Rizal, terkejut dan sangat senang.

“Tentu saja. Masa jurnalis Jakarta datang ke Bima, tidak ada yang menyambut? Itu tidak sopan,” jawab Anisa ceria. “Lagipula, aku tidak mau wartawan nasional salah alamat, kan? Kita sudah punya janji, Kak. Kita tim sekarang.”

Rizal mengerutkan dahi. “Tim? Tunggu, Anisa, kamu bekerja di sini? Di Bima?”

Anisa terkekeh, memasukkan tangan ke saku celana. “Aku lupa bilang di kapal. Aku Anisa. Jurnalis lokal. Reporter Media Rakyat Bima. Senang bisa jadi mitra liputanmu, Kak Rizal.”

Rizal terdiam sejenak. Ia terkejut, tetapi juga merasa seluruh teka-teki Bima yang rumit mendadak menjadi lebih jelas. Gadis yang begitu bersemangat membela Bima dan kekayaan budayanya, ternyata adalah seorang kuli tinta sepertinya. Ini bukan kebetulan; ini takdir.

“Aku… aku tidak menyangka. Aku senang mendengarnya, Nis. Berarti, tugas ini tidak akan membosankan,” ujar Rizal, tersenyum lebar. Kehadiran Anisa seperti oase setelah perjalanan panjang dan peringatan Pamannya yang dingin.

“Selamat datang di Bima, Kak. Kota Tepian Air. Mari kita buktikan Bima bukan hanya berita buruk,” kata Anisa, memimpin Rizal menuju sebuah ruko yang tak jauh dari terminal.

Di sepanjang jalan menuju kantor redaksi, Anisa menceritakan perjalanannya dari Padang Bai. Ia sengaja menunggu Rizal karena ia ingin mengenalkannya pada rumah keduanya, kantor redaksi.

Namun, Rizal tidak tahu bahwa Anisa menyimpan gejolak. Saat Rizal di bus malam, Anisa menerima pesan singkat dari ibunya: “Dek, Bapak mulai bicara lagi. Dia sebut nama Pak Hasyim untuk Fatma. Kamu harus bicara dengannya, Nak.”

Fatma adalah adik semata wayang Anisa. Perjuangan Anisa melawan pernikahan anak adalah pertarungan melawan Ayahnya sendiri, seorang pedagang keras kepala.

Di benaknya, Anisa kembali mengingat momen ia nyaris menjadi korban di usia 15 tahun. Ayahnya menjodohkannya demi “persaudaraan bisnis.” Anisa yang polos hanya bisa menangis diam-diam. Ibunya, yang tak punya kuasa, hanya bisa memeluk dan berkata, “Kamu harus kuat, Nak. Ibu tidak punya suara.”

Titik baliknya datang dari Ibu Laila, guru Bahasa Indonesia yang juga seorang aktivis perempuan. Ibu Laila-lah yang diam-diam mempertemukan Anisa dengan LSM, memberikan jalur beasiswa. Anisa berhasil meloloskan diri dan kembali sebagai seorang jurnalis. Sejak saat itu, jurnalisme bagi Anisa adalah senjata—ia berjanji akan menjadi suara bagi anak-anak perempuan yang nasibnya dikalahkan oleh adat dan perhitungan ekonomi keluarga. Luka itu, kini, mengancam Fatma, dan ini adalah motivasi inti yang membuat jurnalisme Anisa begitu berapi-api.

BACA JUGA:  Menyusuri Aliran Sungai: Mengapa Kota Bima Terus Terkena Banjir?

Anisa membawa Rizal ke kantor redaksi, sebuah ruko sederhana berlantai dua yang bernama Media Rakyat Bima.

“Kantornya memang tidak se-mentereng di Jakarta, Kak. Tapi idealisme kami lebih mahal dari gedung,” kata Anisa bangga.

Rizal disambut oleh Dani, Sinta, dan Irwan. Suasana mencair cepat.

“Eh, ini dia wartawan dari Jakarta yang katanya keras kepala itu! Tapi kalau soal ngopi, di sini harus kopi Bima, bukan latte Jakarta!” seloroh Dani.

“Keras kepala cuma kalau datanya ngaco, Mas Dani. Kalau soal kopi, aku selalu siap,” balas Rizal, merasa langsung diterima.

Dalam briefing pagi, Dani menunjukkan data angka dispensasi kawin yang melonjak.

Pembagian Tugas:

Tim A (Anisa dan Rizal): wawancara Pengadilan Agama dan kunjungan ke Posyandu Ibu Laila.

Tim B (Sinta dan Irwan): melakukan perjalanan langsung ke desa-desa dengan angka tertinggi, fokus pada dampak ekonomi dan kemiskinan.

“Ingat, Kak Rizal,” bisik Anisa, saat mereka bersiap berangkat. “Kasus ini bukan hanya tentang data. Di baliknya ada ketakutan, Mas. Kadang orang tua memilih malu pada masyarakat daripada melawan adat.”

Di Kantor Pengadilan Agama Bima, mereka berhasil mendapatkan pengakuan dari petugas bahwa 90% permohonan dispensasi kawin diajukan atas alasan ‘darurat’ akibat kehamilan yang tidak diinginkan, didorong oleh ketakutan akan aib keluarga.

Sore harinya, mereka menuju rumah panggung Ibu Laila. Ibu Laila menjelaskan akar masalah: “Di sini, kemiskinan dan adat itu bersaudara. Anak perempuan dianggap beban yang harus segera dipindahkan tanggung jawabnya. Itu yang disebut Adat Menjaga Nama Baik, padahal itu adalah Adat Merusak Masa Depan.”

Malam harinya, setelah mendapat kabar kasus gadis 15 tahun yang baru melahirkan di Desa Waduwani, Anisa merasa sangat terpukul. Di tengah kelelahan, ia berjuang menulis draf surat untuk Fatma, mengutip sumpah idealisme yang ia pegang.

Rizal menenangkan Anisa di lobi penginapan. “Kita jurnalis, Nis. Tapi kita juga manusia. Dan manusia tidak diciptakan untuk berjalan sendirian.”

Di tengah badai data dan trauma, Rizal tidak hanya menemukan mitra liputan; ia menemukan seseorang yang membangkitkan nurani jurnalistiknya—dan ia menemukan Anisa, jantung berdetak dari Bima yang sesungguhnya.

 

***

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

(Bersambung)…..


Pos terkait