Berita11.com— Kerawanan korupsi selalu ada pada setiap pemegang wewenang dan kekuasaan, tidak terkecuali oleh para oknum di badan penyelenggara pemilu. Padahal mereka mengemban amanah untuk menghasilkan pemimpin sesuai pilihan rakyat. Korupsi di badan penyelenggara pemilu tidak hanya mengkhianati rakyat, tapi juga nilai demokrasi yang dijunjung tinggi di negara ini.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Ketiga lembaga ini adalah satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.
KPU berdasarkan UU tersebut adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan Pemilu. Bawaslu adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang mengawasi Penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu.
Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Wuryono Prakoso mengatakan para penyelenggara pemilu memiliki kuasa dan anggaran yang besar dalam menyelenggarakan pemilu di Indonesia. Kekuasaan itu akhirnya berpotensi memicu berbagai jenis korupsi.
Disebutkan dia, di antara jenis-jenis korupsi yang bisa dilakukan penyelenggara Pemilu adalah konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, pemerasan, menerima suap, hingga perbuatan curang. Pemilu juga rentan politik uang atau money politic yang diberikan para kandidat kepada penyelenggara maupun pengawas pemilu.
“Yang jelas korupsi itu dilakukan karena mereka punya kuasa dan anggaran yang besar. Misalnya dalam pengadaan tinta, kotak suara, atau percetakan. Bisa juga dalam pengadaan dukungan IT atau komputer,” kata Wuryono dikutip dari laman KPK, Selasa (5/9/2023).
Ini bukan isapan jempol. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dalam pernyataannya pada November 2022 menyebutkan bahwa ada 44 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa oleh anggota KPU/KPUD di rentang 2014-2022.
Dia juga menjelaskan, kerawanan korupsi pada penyelenggara pemilu juga bisa terjadi dalam ranah kebijakan. Korupsi ini bisa juga terjadi dalam bentuk perdagangan pengaruh atau trading in influence, ketika seseorang menggunakan pengaruhnya untuk mengubah kebijakan.
Kerawanan korupsi ini, kata Wuryono, bisa terjadi mulai dari perencanaan hingga selesai pencoblosan.
“Misalnya dalam penentuan berapa jumlah TPS atau persyaratan verifikasi data. Setelah selesai pemilu juga ada kerawanan, terutama di pengawalan penghitungan mulai dari TPS sampai provinsi, sampai penginputan di sistem IT. Rawan sekali, sehingga cross check and balance harus jalan,” lanjut Wuryono.
Kasus yang terkenal terjadi pada 2020 lalu ketika Komisioner KPU Wahyu Setiawan divonis 6 tahun penjara dan mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina Divonis 4 Tahun Penjara karena menerima suap dari kader PDIP Harun Masiku untuk memilihnya menjadi anggota DPR melalui pergantian antarwaktu (PAW).
Hingga artikel ini diturunkan, Harun Masiku masih buron.
Wahyu Setiawan bukan satu-satunya Komisioner KPU yang terjerat kasus korupsi. Ada nama Nazaruddin Syamsuddin, Mulyana W. Kusumah, Daan Dimara, dan Rusadi Kantaprawira, yang sebelumnya juga divonis penjara karena korupsi mulai dari penyelewengan dana pengadaan barang dan jasa hingga suap.
“Penyelenggara pemilu seharusnya berintegritas. Kalau tidak berintegritas, mereka akan gampang tergoda dengan kewenangan yang mereka miliki. Peraturan dan kebijakan yang mereka punya disalahgunakan untuk menguntungkan segelintir orang,” kata Wuryono.
Korupsi oleh penyelenggara Pemilu merusak kualitas demokrasi di Indonesia, terutama jika berpengaruh pada sosok pilihan rakyat. Masyarakat terkadang tidak menyadari bahwa di balik bilik pemilihan ada tangan-tangan korup yang mencurangi suara mereka.
“Pengetahuan masyarakat hanya sampai di kotak suara,” tambah Wuryono.
Editor: Redaksi
Follow informasi Berita11.com di Google News