Bima, Berita11.com— Dinas Kesehatan (Dikes) Kabupaten Bima mencatat dari total 203 warga yang positif HIV/ AIDS di Kabupaten Bima, 89 orang di antaranya telah meninggal dunia.
Sebaran kasus tersebut terbanyak di wilayah ibukota Kabupaten Bima di Kecamatan Woha.
Dari 114 orang yang masih positif HIV AIDS, hanya 70 orang yang masih aktif mengikuti treatmen Antiretroviral (ARV) melalui klinik Voluntery Conceling and Testing (VCT) seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bima, sedangkan 40 orang tidak melanjutkan terapi dan masuk kategori lost to follow-up di antaranyakarena pindah tempat tinggal.
“Untuk penanganaannya masih ada 70 lebih yang masih aktif berobat, terus sebagian itu loss to followup atau putus obat dan ada yang pindah tempat. Penderita yang putus obat ini sudah beberapa bulan tidak ambil obat di rumah sakit,” ujar Sekretaris Dikes Kabupaten Bima, Afifudin di Dikes Kabupaten Bima, Rabu (2/8/2023) lalu.
Menurut Afifuddin kasus HIV AIDS di Kabupaten Bima tidak masuk kejadian luar biasa (KLB) karena jumlah kasus tidak signifikan walaupun akumulasinya mencapai ratusan. Pemerintah Daerah melalui Dikes intens menangani kasus tersebut melalui sejumlah tindakan selain mendorong penanganan terhadap pasien, di antanya melalui kegiatan promotif dalam bentuk sosialisasi dan deteksi (screening) di sekolah dan Rumah Tahanan (Rutan) Raba serta kelompok rentan lain.
Afifuddin menyebut, kelompok paling rentan sebagai penderita dan penyebar HIV AIDS di antaranya komunitas LGBT terutama wanita dalam pria (waria) dan warga yang pulang dari ibukota Jakarta serta dari luar negeri.
“Pertama upaya mendeteksi HIV AIDS dengan melakukan screening terhadap ibu hamil, kemudian screen terhadap pasien TB, pada kelompok kunci, waria, LSM, WP di Lapas. Upaya promotifnya sosialisasi di sekolah, juga kita screening,” ujarnya.
Masalah Perudungan, lost to follow-up Tinggi
Hasil monitoring Dikes Kabupaten Bima mencatat dari 114 orang yang masih positif HIV AIDS, hanya 70 orang yang masih aktif mengikuti treatmen melalui klinik VCT seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bima, sedangkan 40 orang tidak melanjutkan terapi dan masuk kategori lost to follow-up di antaranya karena pindah tempat tinggal.
Surveilans Penyakit Dikes Kabupaten Bima, Sri Kurniati mengatakan, persepsi masyarakat Bima bahwa penyakit HIV AIDS merupakan sesuatu yang tabu menyebabkan penderita penyakit tersebut mengalami perudungan atau dikucilkan, sehingga menyulitkan tim survelans.
“Salah satu kendala tracking adanya perundungan, persepsi dalam masyarakat masih menganggap penyakit ini adalah penyakit yang tabu. Jadi kadang pasien itu menyembunyikan diri baik dari baik dari keluarga dan masyarakat, sebisa mungkin tidak diketahui oleh orang lain, sehingga untuk penanganan berikutnya agak terhambat. Ini yang jadi tantangan kami di dinas,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi perspepsi negative atau perudungan dari masyarakat, Dikes Kabupaten Bima mengadopsi pola penanganan penderita HIV AIDS di Surabaya, Jawa Timur yang melibatkan komunitas.
“Kemarin studing banding di Surabaya, di mana di Surabaya sudah ada komunitas yang terbentuk, sehingga pasien merasa leluasa. Jadi hanya hanya komunitas itu yang menguasai seluk beluk pasien. Hal tersebut yang akan kami jadikan contoh agar tanpa diketahui oleh orang, sehingga hanya komunitas tersebut yang mengetahui penderita dan bagaimana kontak-kontak dari penderita HIV/AIDS,” ujar alumnus Magister Epidemiologi Univeristas Airlangga ini.
Kurniati juga memastikan tidak ada kendala stok obat ARV sehingga treatmen terhadap penderita HIV / AIDS di Kabupaten Bima melalui klinik VCT tetap berlangsung, kecuali terhadap pasien lost to follow-up.
“ Sejauh ini obat dan penangan pasien HIV/AIDS tetap gratis. Kita langsung koordinasi dengan Dikes provinsi dan diteruskan dengan pusat apabila ada kekurangan stok. Kita cepat-cepat mengantisipasi stok (obat) kosong,” ujarnya.
Sebaran HIV/ AIDS di Kabupaten Bima
Tim VCT RSUD Kabupaten Bima, Muhammad Akbar menyebut, berdasarkan data rumah sakit setempat, penderita HIV/ AIDS di Kabupaten Bima didominasi dari Kecamatan Woha. Secara rutin setiap pekan tetap ada pasien HIV/AIDS dari wilayah tersebut yang mengikuti kegiatan VCT.
“Sebagian besar dari Kecamatan Woha, setiap minggu tetap ada yang datang berobat,” ujar Akbar.
Merujuk data RSUD Bima, grafik penderita HIV AIDS asal Kabupaten Bima yang dirawat di rumah sakit setempat meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 lalu, jumlah penderita HIV AISD sebanyak 17 orang, setahun kemudian meningkat 20 orang. Kemudian pada tahun 2018 sebanyak 27 orang, kemudian terus meningkat pada tahun 2019 dan jumlahnya 30 orang. Pada tahun 2020 jumlah penderita HIV AIDS yang dirawat sebanyak 35 orang.
Pada tahun 2021 jumlah penderita HIV AIDS yang dirawat di RSUD Bima sempat menurun hanya 21 orang, namun sepanjang tahun 2022 lalu, jumlah penderita yang terdeteksi dan dirawat kembali meningkat drastis tembus 50 orang.
Ironis, sebagian besar warga Kabupaten Bima yang masuk kategori orang dengan HIV (ODHIV) itu berasal dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah.
Tim VCT HIV AIDS RSUD Bima, dr H Muhammad Akbar mengatakan, meskipun obat bagi penderita HIV/AIDS gratis, namun mereka yang terjangkit kesulitan biaya hidup, sehingga banyak ODHIV yang tidak lancar meminum obat sehingga akhirnya meninggal dunia.
Berdasarkan hasil penelusuran petugas VCT di lapangan, sebagian penderita HIV/AIDS tertular setelah berhubungan badan dengan pengidap penyakit tersebut. Sejumlah pasien HIV AIDS yang ditangani RSUD Bima di antaranya ibu rumah tangga dan sebagian besar karena penularan melalui hubungan seksual.
“Pasien saya juga ada yang istrinya positif HIV tapi suaminya negatif,” ujar Akbar kepada Berita11.com melalui layanan media sosial whatshapp, Rabu (12/7/2023).
Beberapa kasus yang dialami penderita, bersumber dari suami yang menularkan HIV pada istri hingga menjangkit anak yang dilahirkan. Selain itu, penularan HIV juga melalui kontak darah, cairan kelamin dan air susu ibu (ASI).
Sejumlah ODHIV yang pernah dirawat RSUD Bima di antaranya pasien yang memiliki riwayat kelainan seksual, seperti lesbian dan gay (LGBT). Dua orang di antara mereka adalah korban rudapaksa sesama jenis. Selain itu, dari ratusan pasien HIV AIDS pernah dirawat dan ditangani di antaranya merupakan siswi sekolah menengah pertama korban perkosaan di sebuah kos-kosan di Bima.
“Bahkan ada yang miris akibat rudapaksa dari Waria. Anak SMP diperkosa di kosnya. Pasiennya malu berkonsultasi, terus opname dengan status sudah komplikasi dan akhirnya meninggal dunia,” ujar pria yang aktif berkecimpung dalam pelayanan pasien HIV/AIDS sejak tahun 2012 lalu itu.
Akbar menyebut jenis kelamin (gender) penderita HIV AIDS yang dirawat di RSUD Bima hampir sama jumlahnya. "Untuk laki-laki dan perempuan hampir sama jumlahnya yang menderita HIV AIDS," ungkapnya.
Ketua Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Kota Bima ini mengungkapkan, selama ini organisasi yang dipimpinnya aktif melakukan sosialisasi HIV ke sejumlah kampus kesehatan di Bima. Termasuk melakukan tracking penderita.
“Ada juga bantuan berupa uang untuk meringankan biaya transportasi dan pemeriksaan lab (oleh BSMI) dan lain-lain bagi ODHIV yang tidak mampu atau tidak memiliki BPJS Kesehatan,” ujarnya.
Pada sisi lain, tim VCT HIV AIDS juga menghadapi kendala saat mendampingi orang dengan HIV/AIDS, di antaranya stigma buruk dari masyarakat, seperti penderita harus diasingkan agar tidak menjadi sumber penularan.
Stigma itu membuat para penderita tak mau bersikap jujur kepada tim VCT, sehingga sulit melacak riwayat (tracking). Bahkan, terdapat salah satu penderita yang menikah hingga empat kali dan melahirkan anak, padahal dia telah mengetahui dirinya telah terinfeksi HIV/AIDS.
Upaya Pengendalian dan Pencegahan oleh Pemkab Bima
Pada sisi lain Pemeritah Kabupaten (Pemkab) Bima berupaya mengendalikan dan mencegah kasus HIV AIDS yang trendnya meningkat setiap tahun di Kabupaten Bima.
Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Sekretariat Daerah Kabupaten Bima, Suryadin mengatakan, Pemkab Bima melalui Dinas Kesehatan telah menjabarkan program pengendalian HIV AIDS yang merupakan salah satu standardisasi pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan.
Dikatakan Suryadin, berkaitan target tersebut Dinas Kesehatan telah menetapkan setiap Puskesmas dan sarana kesehatan memiliki program penanganan HIV AIDS, antara lain melalui kegiatan penyuluhan dan pengobatan. Kegiatan yang sudah dijabarkan antara lain penguatan kemitraan penanganan AIDS, TBC dan Malaria (ATM) dengan dukungan Global Fund yang melibatkan keseluruhan sektor.
Merujuk undang-undang terkait tentang kesehatan, pemerintah daerah mengubah orientasi atau paradigma yang awalnya kuratif atau melalui pengobatan dengan mengoptimalisasi upaya pencegahan (preventif)
“Sesuai semangat undang-undang baru tersebut, pemerintah daerah menitikberatkan pentingnya layanan primer untuk pelayanan promotif dan preventif. Oleh karena itu, penting untuk merumuskan formulasi secara sistematik dan berkelanjutan bagaimana mendekatkan layanan kesehatan ke masyarakat,” ujarnya.
Suryadin juga menjelaskan upaya mengendalikan dan mencegah HIV AIDS oleh Pemkab Bima mencakup skrining ibu hamil, pasien TB, warga binaan lapas dan pada kelompok beresiko seperti waria untuk deteksi dini penemuan kasus HIV.
Selain itu, melalui sosialisasi di kecamatan untuk penyebaran informasi dan menghilangkan stigma dan diskriminasi di masyarakat. “Sosialisasi di kelompok berisiko untuk memberikan pemahaman dan risiko penularan penyakit HIV AIDS,” ujarnya.
Suryadin menyebut, di Kabupaten Bima terdapat 21 layanan konseling dan test HIV AIDS. Masing-masing Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) mempunyai tim kerja pengendalian dan pencegahan HIV.
Dikes Catat 19 Pasien Stadium 4 selama Tahun 2022
Sementara itu, Dinas Kesehatan Kabupaten Bima sendiri mencatat setidaknya sebanyak 19 pasien stadium 4 atau level gejala berat (kategori) HIV selama tahun 2022 dari puluhan kasus pada tahun tersebut.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dikes Kabupaten Bima, Alamsyah menyebut puluhan pasien HIV/AIDS yang tercatat pada tahun 2022 tersebar pada 18 kecamatan di Kabupaten Bima. Umumnya setiap kecamatan memiliki 2-3 warga terjangkit penyakit tersebut.
Puluhan kasus HIV AIDS di Kabupaten Bima diketahui dari hasil pelacakan (tracking) dan skrining terhadap sejumlah kelompok risiko terpapar, di antaranya penjaja seks (PSK), waria dan warga Bima yang sudah lama merantau di luar daerah.
Sebagian besar warga yang terjangkit HIV AIDS menjalani perawatan secara mandiri di rumah masing-masing karena malu jika penyakit yang diderita diketahui orang lain. Kondisi tersebut juga merujuk Undang-Undang Tentang Kesehatan yang tidak mewajibkan pasien HIV/AIDS dirawat di rumah sakit.
Pada periode Januari hingga Oktober 2020 lalu, Dikes Kabupaten Bima mencatat Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kabupaten Bima mencapai 169 kasus. Rinciannya 28 kasus HIV dan 141 kasus AIDS. Pasien terjangkit penyakit mematikan tersebut tersebar dan tercatat pada 16 wilayah Puskesmas di Kabupaten Bima, di antaranya 25 kasus di Kecamatan Sape, 20 kasus di Kecamatan Woha.
Kemudian 16 kasus tercatat di Kecamatan Bolo, 16 kasus di Kecamatan Ambalawi, 14 kasus di Kecamatan Monta, 12 kasus di Kecamatan Madapangga dan Kecamatan Palibelo, 11 kasus di Kecamatan Belo, 9 kasus di Kecamatan Wera, 8 kasus di Kecamatan Lambu, 7 kasus di Kecamatan Wawo dan Kecamatan Langgudu, 6 kasus di Kecamatan Donggo, 2 kasus di Kecamatan Parado dan 1 kasus yang ditemukan di pusat pelayanan di Desa Pai Kecamatan Wera.
Hasil penelusuran Dikes Kabupaten Bima pada tahun 2020 penyebab kasus HIV/AIDS umumnya karena ODHA gonta-ganti pasangan dan saat berhubungan badan tidak menggunakan kondom serta menggunakan jarum suntik secara bersamaan.
Umumnya ODHA merupakan warga Kabupaten Bima yang memiliki riwayat bekerja di luar negeri seperti Malaysia, Brunei dan kota besar di Indonesia lain dan saat berada di luar daerah sebagian besar berhubungan dengan pekerja seks tanpa menggunakan kondom. Kemudian setelah pulang ke Bima menularkan HIV AIDS kepada istrinya.
Tahun 2010 -2019 Dikes Kabupaten Bima Catat 129 Kasus ODHA
Dikes Kabupaten Bima juga mencatat pada rentang tahun 2010 hingga tahun 2019 terdapat 129 kasus ODHA di Kabupaten Bima. Rincianya 18 orang terjangikit HIV dan 111 menderita AIDS. Umumnya kasus penularan HIV/ AIDS yang dialami warga Kabupaten Bima karena gonta-ganti pasangan hubungan badan. Selain itu dipicu hubungan seks sesama jenis.
Pada tahun 2010 jumlah kasus ODHA k 4 orang, tahun 2011 sebanyak 11 orang, tahun 2012 sebanyak 6 orang, tahun 2013 sebanyak 7 orang, tahun 2014 sebanyak 9 orang, tahun 2015 sebanyak 7 orang, tahun 2016 sebanyak 16 orang, dan tahun 2017 sebanyak 16 orang. Kemudian pada tahun 2018 tercatat 21 kasus dan tahun 2019 sebanyak 14 kasus. Sementara itu jumlah kasus HIV 2010- 2019 sebanyak 18 orang.
Kelompok Umur 25-49 Tahun Dominasi Kasus HIV di NTB
Merujuk Satu Data NTB, jumlah kasus HIV menurut jenis kelamin dan kelompok umur di Provinsi NTB pada semester I tahun 2022 sebanyak 115. Rinciannya 31 perempuan dan 84 laki-laki.
Kasus HIV yang tercatat pada semester I tahun 2022 didominasi kelompok umur 25-49 tahun sebanyak 69 kasus. Disusul kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 32 kasus serta kelompok usia 15-19 tahun sebanyak 11 kasus.
Mengutip pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi NTB, Soeharmanto, jumlah warga Nusa Tenggara Barat yang terjangkit HIV AIDS hingga Juni 2020 mencapai 2.021 orang.
Salah satu penyebab jumlah warga yang terjangkit HIV/AIDS meningkat, karena perilaku homoseksual yang semakin banyak.
"Saat ini sudah terdata ratusan homoseksual atau penyuka sejenis yang telah terjangkit HIV/AIDS. Data terakhir, sebanyak 13 persen kasus HIV/AIDS di NTB penyebabnya adalah homoseksual," kata Soeharmanto dikutip Jumat (12/6).
Meski begitu, Soeharmanto, mengatakan penyebab penularan HIV/AIDS terbanyak di NTB karena hubungan heteroseksual. "Data sekarang sebanyak 263 penderita HIV/AIDS karena homoseksual. Ini sangat memprihatinkan karena persentasenya cukup tinggi," ucap Soeharmanto saat itu.
Pada tahun tersebut, KPA NTB mengungkapkan sebaran wilayah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi. Tercatat, kasus tertinggi ada di Kota Mataram dengan 611 kasus, kemudian disusul Lombok Barat dengan 339 kasus, dan Lombok Timur dengan 329 kasus.
Kemudian di Kabupaten Lombok Tengah terdapat 241 kasus, Kabupaten Bima ada 136 kasus, Kabupaten Sumbawa ada 115 kasus, Kabupaten Sumbawa Barat ada 79 kasus, Kota Bima ada 69 kasus, Kabupaten Dompu ada 51 kasus, dan Kabupaten Kabupaten Lombok Utara ada 45 kasus.
Jumlah Kasus HIV AIDS secara Nasional
Mengutip laman Kementerian Kesehatan, berdasarkan laporan kasus HIV AIDS sampai dengan Maret 2022 sudah dilaporkan oleh 34 Provinsi di Indonesia. Jumlah ODHIV yang ditemukan periode Januari – Maret 2022 sebanyak 10.525 orang dari 941.973 orang yang dites HIV, dan sebanyak 8.784 orang mendapat pengobatan ARV (83,4%).
Jumlah kumulatif ODHIV ditemukan (kasus HIV) yang dilaporkan sampai dengan Maret 2022 sebanyak 329.581 orang, sedangkan jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan sampai dengan Maret 2022 sebanyak 137.397.
Berdasarkan laporan Kemenkes, jumlah ODHIV yang ditemukan periode Januari – Juni 2022 sebanyak 22.331 orang dari 2.018.641 orang yang dites HIV, dan sebanyak 18.479 orang mendapat pengobatan ARV. Jumlah ODHIV yang ditemukan pada periode April – Juni 2022, sebagian besar terdapat pada kelompok umur 25 - 49 tahun (66,1%) dan berjenis kelamin laki-laki (69%).
Jumlah ODHIV yang ditemukan pada periode April – Juni 2022 berdasarkan faktor risiko sebanyak 29% heteroseksual dan kelompok populasi LSL (27%) dan ibu hamil.
Sementara itu, Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah pengidap AIDS terbanyak di Indonesia pada 2022 yaitu mencapai 1.484 kasus. Jumlah itu setara 14,98% dari total kasus AIDS nasional pada tahun lalu. Jumlah pengidap AIDS terbanyak kedua berada di Papua, yaitu sebanyak 858 kasus pada tahun lalu.
Laporan: Idil Safitri, Sukriyadin, Fachrunnas