Spionase Intelijen Keamanan di Draf RUU Polri Tumpang Tindih dengan Tugas BIN dan BAIS

Ilustrasi Spionase.
Ilustrasi Spionase.

Jakarta, Berita11.com— Draf Rancangan Undang-Undang Polri yang telah disetujui sebagai usul inisiatif di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berpotensi menghidupkan kembali UU Subversi di era orde baru (orba).

Pendapat itu disampaikan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI, Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto.

Bacaan Lainnya

“RUU Polri berpotensi menghidupkan kembali UU Subversi, khususnya Pasal 16A dan B,” kata Soleman Ponto dikutip dari Kompas pada Minggu (2/6/2024).

UU Subversi era orba telah dicabut lewat UU Nomor 26 Tahun 1999. Sementara itu dalam draf RUU Polri, Pasal 16A mengatur tugas Intelijen Keamanan (Intelkam) Polri, yakni menyusun rencana dan kebijakan di bidang Intelkam Polri sebagai bagian dari rencana kebijakan nasional. Kemudian melakukan penyelidikan, pengamanan, penggalangan intelijen, hingga deteksi dini untuk mengamankan kepentingan nasional.

BACA JUGA: Makelar Tanah ini Dikarengkeng karena Tilep Uang Kliennya hingga Rp160 Juta

Selain itu, Pasal 16B ayat 1 menyebutkan kegiatan pengumpulan informasi dan bahan keterangan oleh Intelkam Polri atas permintaan kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau lembaga lainnya, termasuk pemeriksaan aliran dana dan penggalian informasi.

Kemudian dijabarkan juga soal sasaran sumber ancaman baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, termasuk ancaman dari orang yang sedang menjalani proses hukum.

Huruf A menyebut, “ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.”

Kemudian, huruf B menyebutkan, terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional”.

Menurut Soleman Ponto kewenangan itu berpotensi tumpang tindih dengan tugas Badan Intelijen Negara (BIN) dan Bais TNI.

“Tidak boleh dalam UU itu disebut Intelkam itu tidak boleh. Dalam UU Polri ya bicara tentang Polri, kewenangan Polri, kewenangan penyidik,” ujar Soleman Ponto.

Ponto mengatakan, draf Pasal 16A dan B merupakan kewenangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sementara, Polri harus berpatokan dari KUHAP.

BACA JUGA: Usai Lebaran, BINDA NTB Genjot Vaksinasi Door to Door

“Pasal 16 itu penyelesaiannya di luar KUHAP. Jadi Anda bisa ditangkap polisi, suka-suka polisi tanpa lewat KUHAP. Kalau mau menangkap orang, lihat dulu KUHAP, melanggar UU apa? Baru boleh ditangkap,” ujar Soleman Ponto.

“Kalau RUU sudah jadi seperti itu (UU), maka Jampidsus kemarin enggak usah dimata-matain (Densus 88), tangkap saja langsung. Wong polisi boleh nangkap, kenapa harus mata-matain?” ucapnya lagi.

Soleman Ponto juga mempermasalahkan kata “kedaulatan” dalam RUU Polri, seperti padal Pasal 16B ayat 2(b).

“Kedaulatan itu UU TNI bukan polisi, polisi itu hanya terjadi kalau ada pelanggaran terhadap UU,” kata Ponto.

Sebagai informasi, DPR RI menyetujui revisi empat undang-undang sebagai usul inisiatif DPR yaitu revisi UU Kementerian Negara, UU Keimigrasian, UU TNI, dan UU Polri.

Peresmian usulan RUU inisiatif DPR itu disahkan dalam Sidang Paripurna Ke-18 yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad di Ruang Rapat Paripurna DPR-RI, Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (28/5/2024). [B-19]

Follow informasi Berita11.com di Google News

Pos terkait