Kota Bima, Berita11.com— Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram Biro Bima menggelar ngAJI Jurnalistik Berita Ramah Anak dan Perempuan di Kalikuma Library Kelurahan Ule Kota Bima, Jumat (21/6/2024).
Pelatihan jurnalistik berita ramah anak diikuti 25 peserta, di antaranya dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Bima, PWI Kabupaten Bima, dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Universitas Muhammadiyah Bima.
Koordinator AJI Mataram Biro Bima, Sofiyan Asy’ari menjelaskan, ngAJI Jurnalistik Berita Ramah Anak bertujuan meningkatkan pemahaman tentang pemberitaan ramah anak, menegakkan kode etik jurnalistik dalam pemberitaan ramah anak dan perempuan, dan menguatkan kolaborasi stakeholder dalam perlindungan anak dan perempuan.
Menurut jurnalis Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Bima ini, kasus kekerasan pada anak dan perempuan di Bima tergolong tinggi. Beragam bentuk kekerasan yang terjadi, mulai fisik, seksual, hingga kekerasan nonfisik (bulliying).
Kondisi ini juga diperparah dengan masih adanya media melakukan pemberitaan yang justru melegitimasi kekerasan tersebut. Padahal panduan bagi jurnalis dalam menulis berita sudah jelas. Milsanya Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Kendati kode etik dengan jelas dan tegas memberikan perlindungan pada anak, namun masih terus terjadi. Hal tersebut mendorong AJI Mataram Biro Bima, menggagas diskusi bertajuk ngAJI Jurnalistik.
![](https://berita11.com/wp-content/uploads/2024/06/ngaji-2.png)
Sekretaris LPA Kota Bima, Muhammad Fikrillah, yang menjadi salah satu narasumber pada kegiatan tersebut memaparkan kondisi ancaman kekerasan yang rentan dialami anak dan perempuan.
Menurutnya, potensi kekerasan termasuk perudungan (bullying) juga bersumber dari berita melalui media yang abai terhadap kode etik jurnalistik, termasuk pedoman pemberitaan ramah anak.
Sesuai hasil riset, sejumlah jurnalis media terbitan di ibukota tercatat melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik dengan tidak memerhatikan prinsip maupun pedoman pemberitaan ramah anak.
Mantan pemimpin redaksi harian Bima Ekspres itu mengingatkan jurnalis perlu menyembunyikan identitas anak jika pemuatan sebuah berita menciptakan ancaman dan atau stigma terhadap anak. “Khsusus di Bima belum ada riset tentang itu, namun pemberitaan yang tidak ramah anak sering terjadi,” ujar Fikrillah.
Koordinator Devisi Perempuan AJI Mataram, Susi Gustiana, memaparkan, pentingnya jurnalisme ramah anak dan perempuan, di antaranya merujuk sejumlah regulasi seperti Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Selain itu, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 19:(1) identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.(2) Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama Anak Korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.
Regulasi lainnya sebut Susi, Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik: Wartawan Indonesia tidak menyebut dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Selain itu, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (ΚΡΙ) dalam Pasal 14 (1) lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggo- longan program siaran. (2) lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.
“ Jurnalis memahami bahwa isu peliputan untuk memperjuangkan hakdan memberikan perlindungan pada anak, tidak melakukan eksploitase untuk kepentingan bisnis,” jelas Susi.
Dikatakannya, jurnalis harus mengenali kerentanan narasumber, apakah seorang korban eksploitasi seksual, anak-anak atau korban yang harus mendapatkan perlindungan. Jika orang dalam situasi khusus tersebut, maka jurnalis harus mengatakan haknya sebagai narasumber dan apa saja yang tidak boleh dilanggar dan harus sesuai dengan kesepakatan.
“Jurnalis harus melakukan wawancara pihak-pihak dengan pihak-pihak di sekitar anak dan bukan orang-orang yang tidak memahami dan mengetahui anak dan berakibat buruk pada anak,” ujar jurnalis Kompas.com ini.
Materi pendukung ngAJI Jurnalistik Berita Ramah Anak yang digelar AJI Mataram Biro Bima juga disampaikan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, Kepolisian Resor Bima Kota, Inspektur Dua Eka Turkiana. Kegiatan yang digelar secara hybrid ini juga diikuti sejumlah AJI Mataram di Kota Mataram. [B-19]
Follow informasi Berita11.com di Google News