Kenaikan PPN akan Pengaruhi Daya Beli dan Penyediaan Barang Jasa, ini Saran Ekonom Unram untuk Pemerintah

Dr Firmansyah/ Foto Ist.
Dr Firmansyah/ Foto Ist.

Mataram, Berita11.com— Ekonom Universitas Mataram, Firmansyah menyebut, rencana kenaikan Panjak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki dampak utama memukul daya beli masyarakat, karena memicu meningkatkan harga.

“Ketika daya beli menurun saat ini, kenaikan PPN harusnya bisa ditunda, karena masyarakat kemungkinan akan sesuiakan belanja, mengurangi belanja sehingga transaksi bisnis terhambat,” kata Firmansyah saat dihubungi Berita11.com melalui layanan media sosial whatshapp, Rabu (20/11/2024) lalu.

Bacaan Lainnya
Iklan%204%20Bawaslu%20Kota%20Bima

Menurut Doktor Ekonomi ini, kenaikan PPN tidak saja berdampak pada konsumen, namun juga berdampak terhadap penyedia barang dan jasa. Akibatnya, untuk menstabilisasi ekonomi, pemerintah harus kerja keras, mestabilkan inflasi dan memberi bantuan tunai untuk menopang kelas bawah.

“Masalahnya kelas menengah sebagai aktor utama ekonomi akan sangat terpukul daya belinya. Pemerintah perlu pikirkan untuk stabilkan daya beli kalangan menengah, karena transaksi ekonomi rill banyak dikreasikan kalangan menengah,” ujar Firmansyah.

Sebelumnya, ajakan boikot kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen menguat di sejumlah platform media sosial. Salah satunya menggema di media sosial X atau twitter beberapa hari terakhir.

Sejumlah warganet menyerukan aksi boikot dengan menerapkan frugal living dan mengurangi belanja.

seruan frugal living (hidup hemat) oleh warganet berpotensi besar memperlambat laju perekonomian, karena konsumsi masyarakat merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

BACA JUGA: Sorot Kasus Distributor Gelembungkan Data Pupuk, Petani di Bima Blokade Jalan Negara

Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, jika seruan itu diterapkan, bukan tak mungkin ekonomi Indonesia bakal semakin suram. Pasalnya, tanpa seruan itu pun konsumsi masyarakat telah melemah dan berimbas pada penurunan produksi bisnis.

“Apalagi ada kampanye frugal living. Itu hak masyarakat, mau hemat, memang daya beli sedang lemah. Mungkin itu orang-orang yang tanpa kenaikan PPN juga jarus hemat pengeluarannya,” ujarnya dikutip Sabtu (23/11/2024).

Adapun Porsi konsumsi rumah tangga sedianya sepanjang tahun ini terus melemah. Itu terlihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang perlahan menciut di tiap triwulan.

Pada triwulan I 2024 konsumsi rumah tangga tercatat mengalami pertumbuhan 4,91% dan berkontribusi hingga 54,93% dari PDB Indonesia yang saat itu mampu tumbuh 5,11%. Pada tiga bulan pertama itu, konsumsi rumah tangga memiliki momentum untuk tumbuh lantaran ada periode puasa dan pemilu 2024.

Kendati begitu, pertumbuhan yang tak mampu melampaui angka 5% seperti periode-periode sebelumnya merupakan bukti terjadi pelamahan daya beli masyarakat.

Kemudian pada triwulan II 2024, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 4,93% dan berkontribusi terhadap PDB sebesar 54,53%. Pertumbuhan itu juga relatif lambat lantaran di periode itu ada momen lebaran dan libur sekolah yang notabene merupakan periode pendongkrak konsumsi rumah tangga.

BACA JUGA: CPA Australia: Sebagian besar usaha kecil di Indonesia diperkirakan akan berkembang pada tahun 2023

Sementara di triwulan III 2024 konsumsi rumah tangga mencatatkan pertumbuhan 4,91%, lebih lambat dari triwulan sebelumnya. Kontribusi pertumbuhan itu terhadap PDB juga menyusut menjadi 53,08%.

“Itu haruanya ada sense of crisis dari pemerintah. Tapi narasi yang dibangun sampai hari ini, adalah menaikan-menaikan (harga) terus. BPJS iuran naik Juni 2025. KRL diseleksi pakai KTP. Menggelegar saat ini PPN 12%, ini perlu dikritisi,” jelas Eko.

Eko meragukan ekonomi Indonesia bisa mengalami pertumbuhan tinggi di tahun depan jika pengambil kebijakan tetap ngotot ingin menambah beban masyarakat.

“Kalau itu (seruan frugal living) benar-benar terjadi, konsumsi bisa turun lebih dalam lagi, mungkin 4,8%-4,75%, tergantung momentum juga apakah frugal livingnya saat hari raya atau apa, itu lebih penting karena konsumsi kita menigkatnya musiman,” pungkas Eko.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut, frugal living memang bisa membuat pemerintah rugi. Belum lagi, masyarakat mungkin mencari kebutuhan yang tidak dikenai PPN.

Ketika pemerintah hanya mengejar kenaikan tarif PPN, efek sampingnya masyarakat mungkin membeli barang-barang yang tidak dikenai tarif PPN,” ujar Bhima. [B-19]

Follow informasi Berita11.com di Google News

12036653233235931344

Pos terkait