Jakarta, Berita11.com— Ajakan boikot kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen menguat di sejumlah platform media sosial. Salah satunya menggema di media sosial X atau twitter beberapa hari terakhir.
Sejumlah warganet menyerukan aksi boikot dengan menerapkan frugal living dan mengurangi belanja.
“Yang pengen ganti HP tahan, yang pengen ganti motor baru tahan, yang pengen ganti mobil baru tahan. 1 tahun aja, jangan lupa pake semua subsidi, gak usah gengsi dibilang miskin, itu dari duit kita juga kok. Kapan lagi boikot pemerintah sendiri,” tulis @mal*** Rabu (14/11/2024).
“Boikot pemerintah jalur frugal living struktural. Cermat dg pengeluaran, beli di warung tetangga/pasar dekat rumah, buat daftar barang2 berpajak yg bisa dicari alternatifnya, minimalkan konsumsi,” tulis akun @us*** pada Kamis (15/11/2024).
Sementara itu, seruan frugal living (hidup hemat) oleh warganet berpotensi besar memperlambat laju perekonomian, karena konsumsi masyarakat merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, jika seruan itu diterapkan, bukan tak mungkin ekonomi Indonesia bakal semakin suram. Pasalnya, tanpa seruan itu pun konsumsi masyarakat telah melemah dan berimbas pada penurunan produksi bisnis.
“Apalagi ada kampanye frugal living. Itu hak masyarakat, mau hemat, memang daya beli sedang lemah. Mungkin itu orang-orang yang tanpa kenaikan PPN juga jarus hemat pengeluarannya,” ujarnya dikutip Sabtu (23/11/2024).
Adapun Porsi konsumsi rumah tangga sedianya sepanjang tahun ini terus melemah. Itu terlihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang perlahan menciut di tiap triwulan.
Pada triwulan I 2024 konsumsi rumah tangga tercatat mengalami pertumbuhan 4,91% dan berkontribusi hingga 54,93% dari PDB Indonesia yang saat itu mampu tumbuh 5,11%. Pada tiga bulan pertama itu, konsumsi rumah tangga memiliki momentum untuk tumbuh lantaran ada periode puasa dan pemilu 2024.
Kendati begitu, pertumbuhan yang tak mampu melampaui angka 5% seperti periode-periode sebelumnya merupakan bukti terjadi pelamahan daya beli masyarakat.
Kemudian pada triwulan II 2024, konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 4,93% dan berkontribusi terhadap PDB sebesar 54,53%. Pertumbuhan itu juga relatif lambat lantaran di periode itu ada momen lebaran dan libur sekolah yang notabene merupakan periode pendongkrak konsumsi rumah tangga.
Sementara di triwulan III 2024 konsumsi rumah tangga mencatatkan pertumbuhan 4,91%, lebih lambat dari triwulan sebelumnya. Kontribusi pertumbuhan itu terhadap PDB juga menyusut menjadi 53,08%.
“Itu haruanya ada sense of crisis dari pemerintah. Tapi narasi yang dibangun sampai hari ini, adalah menaikan-menaikan (harga) terus. BPJS iuran naik Juni 2025. KRL diseleksi pakai KTP. Menggelegar saat ini PPN 12%, ini perlu dikritisi,” jelas Eko.
Eko meragukan ekonomi Indonesia bisa mengalami pertumbuhan tinggi di tahun depan jika pengambil kebijakan tetap ngotot ingin menambah beban masyarakat.
“Kalau itu (seruan frugal living) benar-benar terjadi, konsumsi bisa turun lebih dalam lagi, mungkin 4,8%-4,75%, tergantung momentum juga apakah frugal livingnya saat hari raya atau apa, itu lebih penting karena konsumsi kita menigkatnya musiman,” pungkas Eko.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut, frugal living memang bisa membuat pemerintah rugi. Belum lagi, masyarakat mungkin mencari kebutuhan yang tidak dikenai PPN.
Ketika pemerintah hanya mengejar kenaikan tarif PPN, efek sampingnya masyarakat mungkin membeli barang-barang yang tidak dikenai tarif PPN,” ujar Bhima.
Menurutnya, gaya frugal living sebenarnya tak perlu diserukan karena daya beli masyarakat akan otomatis menurun jika kenaikan PPN 12% tidak diimbangi dengan peningkatan pemasukan. [B-19]
Follow informasi Berita11.com di Google News