Eks Ketum HMI Cabang Bima sebut Proporsional Tertutup Cara Bungkam Demokrasi ala Orba

Edi Muhlis. Foto US/ Berita11.com.
Edi Muhlis. Foto US/ Berita11.com.

Kota Bima, Berita11.com— Sejumlah politisi di daerah terus menyuarakan penolakan terhadap sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 yang menjadi wacana sebagian pihak. Mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bima yang juga politisi Partai Nasdem di Kabupaten Bima, Edi Muhlis menyebut wacana itu adalah cara bungkam demokrasi ala Orde Baru (Orba).

“Terkait (sistem) pemilihan tertutup tentu saya tidak setuju, karena agenda besar reformasi itu adalah Indonesia yang bebas dari KKN dan demokrasi yang terbuka,” ujarnya kepada Berita11.com melalui pesan sosial media Whatshapp, Sabtu (21/1/2023) lalu.

Bacaan Lainnya

Menurut anggota DPRD Kabupaten Bima dua periode itu, jika Indonesia menganut sistem proporsional tertutup dalam pelaksanaan Pemilu, maka korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh partai politik tidak bisa lagi dihindari.

“Di sampimg itu sangat merugikan figur yang memiliki suara tertinggi. Artinya demokrasi sudah terbungkam seperti waktu Orde Baru. Ini adalah kecelakaan dalam sejarah,” ujar mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Mbojo Bima/ Universitas Mbojo Bima itu.

BACA JUGA: Viral Video Pria di Bima bawa Lumba-lumba, Disoroti Warganet dan Pemerhati Animal

Sebagaimana dilansir Berita11.com sebelumnya, sejumlah pengurus Parpol lain di Kabupaten Bima menolak wacana sistem proporsional tertutup sebagai acuan pencalonan pada Pemilu 2024. Hal itu merespon gugatan sistem pemilu proporsional terbuka yang sedang diajukan di Mahkamah Konsitusi Republik Indonesia dan teregistrasi sebagai perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tentang pengujian materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Salah satu pemohon perkara adalah pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono. Selain itu, pemohon juga terdiri atas lima warga sipil, yakni Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.

Mahkamah Konstitusi mengagendakan sidang judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum akan digelar pada Kamis, 26 Januari 2023. Juru Bicara MK, Fajar Laksonomenyebut, menyebut hakim MK akan mendengarkan keterangan dari sejumlah pihak, salah satunya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden Jokowi diagendakan akan diwakili kuasa hukumnya.

Selain itu mendengar keterangan DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebelumnya, sidang berkaitan pengujian materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum batal digelar oleh MK pada Selasa, 17 Januari 2023.

BACA JUGA: Jelang Pengumuman Hasil Pemilu, Bupati Bima Ajak Semua Pihak Jaga Kondusifitas

Ketua MK Anwar Usman yang memimpin sidang memutuskan menunda sidang karena terdapat surat permintaan dari DPR tertanggal 16 Januari agar sidang dilaksanakan secara offline atau luar jaringan (luring).

“Pada siang hari ini sidang lanjutan untuk perkara Nomor 114/2022 dengan agenda mendengar keterangan DPR dan Presiden serta keterangan pihak terkait KPU, akan tetapi kemarin MK menerima surat dari DPR yang ditanda tangani oleh Sekjen atas nama pimpinan, yang pada intinya memohon agar sidang yang semula dilaksanakan secara daring atau online diubah menjadi secara luring di ruang sidang MK,” kata Anwar.

Anwar menjelaskan, MK perlu melakukan beberapa persiapan berkaitan sidang seperti mengatur tempat duduk, pengamanan, dan memberi tahu kepada pihak-pihak terkait dalam perkara bahwa sidang akan digelar secara tatap muka, sehingga MK memutuskan menunda sidang yang seharusnya digelar pada Selasa lalu. Sidang yang akan digelar MK pada Kamis sekaligus menjadi pertama atau pembuka untuk sidang luring . [B-22]

Pos terkait