Beda Pandangan Akademisi dengan Pimpinan Parpol soal Sistem Proporsional Tertutup

Akademisi Dan Pimpinan Parpol

Kota Bima, Berita11.com— Akademisi Universitas Mbojo Bima (UMB) yang sebelumnya dikenal sebagai Sekolah Tinggi Ilmus Sosial dan Politik (STISIP) Mbojo Bima, Hendra M.Si berbeda pandangan dengan pengurus dan pimpinan partai politik berkaitan sistem Pemilu proporsional tertetup.

Menurut Hendra, sistem Pemilu proporsional tertutup sangat baik diterapkan pada Pemilu 2024. Namun demikian, alumnus Universitas Gajah Mada itu memberikan catatan kepada partai politik agar memenuhi prinsip-prinsip transparansi.

Bacaan Lainnya

“Penyelenggaraan Pemilu serentak dengan sistem yang sederhana ini dari sisi pemilih dan perlu diawali dari internal partai politik yang memenuhi prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan edukasi agar para pemilih mengetahui para calon kandidat yang diusung oleh partai politik,” ujar Hendra kepada Berita11.com melaui layanan pesan media sosial whatshapp, Selasa (10/1/2023).

Hendra juga berharap, adhoc Pemilu 2024 yang direkrut oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di daerah menjadi penyelenggara yang memiliki integritas, menjunjung prinsip netral, serta melaksanakan dan mengawasi tahapan Pemilu dengan jujur (fair) dan adil.

“Kita harapkan adalah yang direkrut oleh KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas, netralitas, kejujuran dan adil dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing,” harapnya.

Pada bagian lain, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bima yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN), Muhammad Aminurllah tidak setuju dengan wacanana sistem Pemilu proporsional tertutup, karena menurutnya menciderai sistem demokrasi di Indonesia yang menjadi amanat dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan amanat reformasi.

“Dewan itu merupakan jembatan bagi masyarakat, menyampaikan secara langsung aspirasi masyarakat ke pusat. Apabila sistem proporsional tertutup dipaksakan, maka kualitas dari legislatif itu tidak ada, walaupun di dalamnya itu ada dosen atau doktor. Kualitas dari para calon itu seakan dipangkas,” ujar legislator beberapa periode yang akrab disapa Maman itu kepada Berita11.com melalui sambungan panggilan media sosial whatshapp.

Sebelumnya, sejumlah kader partai politik (Parpol) di Kabupaten Bima menanggapi wacana sistem Pemilu proporsional tertutup yang ‘dilempar’ Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia.

BACA JUGA: TPD Ganjar-Mahfud MD Kabupaten Bima tidak Pasang Target, tapi…

Bendahara DPD Partai Bulang Bintang Kabupaten Bima, Hafid mengatakan, sistem Pemilu proporsional terutup tidak cocok dengan ‘iklim’ demokrasi yang telah terbangun di Indonesia saat ini.

Selain itu, sistem tesebut merugikan kader Parpol yang umumnya memiliki hak dan kewenangan yang sama untuk dipilih oleh rakyat. “Sangat tidak relevan dengan sistem demokrasi saat ini. Apalagi sistem seperti ini sangat merugikan kader,” ujar Hafid kepada Berita11.com, Jumat (6/1/2023).

Hal yang sama juga diungkapkan kader Partai Gerindra Kabupaten Bima, Ma’arif. Pria yang digadang-gadang akan menggantikan anggota legislative Kabupaten Bima, Boymin yang terjerat kasus korupsi dana Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) itu menolak penuh wacana sistem Pemilu proporsional tertutup.

“Jika Pemilu 2024 tidak lagi menggunakan proporsional terbuka, tidak akan terwujud hubungan keterwakilan antara anggota DPRD dengan rakyat yang diwakilinya,” ujar pria yang akrab disapa Moris Ambalawi itu.

Menurut Moris, jika sistem Pemilu proporsional tertutup diterapkan, maka rakyat tidak dapat langsung memilih figur wakilnya yang akan duduk di kursi legislative sebagaimana yang menjadi amanat Undang-Undang Dasar 1945.

“Sebab rakyat tidak dapat memilih secara langsung wakilnya sebagaimana dijamin oleh UUD 1945,” kata Moris.

Secara terpisah, Wakil Sekretaris Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Ady Ardiansyah juga menolak wacana sistem Pemilu proporsional tertutup.

“Wacana yang terkesan subjektif dan sarat kepentingan elit-elit partai. Kalau Pemilu nanti akan dilaksanakan mekanisme proporsional tertutup, maka rakyat seolah-olah membeli kucing dalam karung. Hal ini seperti cara Orde Baru dulu,” ujar Ketua Bidang Organisasi DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah NTB itu.

Menurut mantan Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mataram itu, sistem Pemilu proporsional tertutup sudah tidak relevan dengan demokrasi yang telah terbangun sejak reformasi atau pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Pada sisi lain dapat mengikis tingkat partisipasi masyarakat pemilih saat Pemilu.

“Narasi seperti ini harusnya sudah lama tertinggal, karena ini adalah cara-cara lama yang tidak lagi relevan dengan partisipasi publik secara langsung dan demokratis,” ujar mantan Ketua Umum IMM Kota Mataram itu.

Ady juga menilai sistem Pemilu proporsional tertutup membuka peluang nepotisme pada tingkat elit Parpol, terutama dalam menentukan figure yang akan duduk di kursi legislative, karena masyarakat pemilih tidak bisa langsung menentukan wakil rakyatnya, namun hanya mencoblos symbol atau gambar Parpol.

BACA JUGA: Pemilu Berlangsung Damai, Warga Antusias Ikut Pemungutan Suara

“Apalagi kita semua sadar dengan besar dan sentralisitiknya kewenangan Parpol hanya ada di elit-elitnya,” sentil Ady.

Kelebihan dan Kekurangan sistem proporsional tertutup dan terbuka

Proses pemungutan suara dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih Parpol, setelah perolehan suara dihitung, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut, sedangkan dalam sistem proporsional terbuka, pemilih akan memilih satu nama calon anggota legislatif sesuai aspirasinya.

Dalam sistem proporsional terbuka, partai memperoleh kursi yang sebanding dengan suara yang diperoleh. Penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Kelebihan sistem proporsional tertutup yakni:

1. Memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya.

2. Mampu meminimalisasi praktik politik uang.

3. Meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol.

Kelebihan sistem proporsional terbuka adalah:

1. Mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan.

2. Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan kandidat.

3. Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada kandidat yang dikehendakinya.

4. Partisipasi dan kendali masyarakat meningkat sehingga mendorong peningkatan kinerja partai dan parlemen.

Sistem Pemilu proporsional tertutup juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

1. Pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa kandidat Caleg yang dicalonkan dari partai politik.

2. Tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat.

3. Menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascapemilu.

4. Potensi menguatnya oligarki di internal parpol.

5. Munculnya potensi ruang politik uang di internal parpol dalam hal jual beli nomor urut.

Adapun kelemahan sistem proporsional terbuka yaitu:

1. Membutuhkan modal politik yang cukup besar sehingga peluang terjadinya politik uang sangat tinggi.

2. Penghitungan hasil suara rumit.

3. Sulit menegakkan kuota gender dan etnis.

4. Muncul potensi mereduksi peran parpol.

5. Persaingan antarkandidat di internal partai.

Sampai saat ini gugatan sistem Pemilu di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia masih berproses. Sebelumnya terkait pernyataannya tentang peluang sistem Pemilu proporsional tertutup, Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). [B-19/ B-22]

Pos terkait