Transfer Ke Daerah Tahun 2026 Turun Rp1 Triliun,  Akademisi UM Bima Ingatkan ini

Fajrin Hardinandar. Foto Ist.
Fajrin Hardinandar. Foto Ist.

Bima, Berita11.com— Pertumbuhan ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Triwulan III 2025 menunjukkan tren pemulihan yang positif. Meskipun fluktuasi sektor pertambangan masih mendominasi, sektor non-tambang tercatat tumbuh solid di atas angka 7 persen.

Akademisi dari Universitas Muhammadiyah (UM) Bima, Fajrin Hardinandar, menilai capaian tersebut membuktikan bahwa fondasi ekonomi riil di luar sektor tambang mulai menguat. Namun, ia mengingatkan bahwa ketergantungan pada komoditas tambang tetap menjadi tantangan fiskal bagi daerah.

Bacaan Lainnya

“Jika sektor pertambangan dikeluarkan, ekonomi NTB sebenarnya tumbuh di atas 7 persen. Ini menunjukkan sektor non-tambang sudah cukup solid, meski fondasi ekonomi secara keseluruhan belum sepenuhnya kuat karena pengaruh fluktuasi tambang,” ujar Fajrin dalam keterangannya, Sabtu (27/12/2025).

BACA JUGA:  Kualitas Kredit Terjaga di bawah Threshold 5%, Stimulus Restrukturisasi Kredit Berakhir

Fajrin menyoroti operasional smelter di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang mulai memberikan dampak berganda (multiplier effect) bagi UMKM dan sektor jasa. Meski demikian, ia menilai keterlibatan rantai pasok lokal belum optimal. Menurutnya, dampak ekonomi yang lebih besar hanya akan tercipta jika UMKM lokal terintegrasi sebagai pemasok langsung, bukan sekadar penonton.

Di tingkat global, Fajrin mewaspadai kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang berpotensi menekan ekspor non-tambang NTB, seperti komoditas ikan dan udang. Hal ini dikhawatirkan akan menggerus margin pendapatan nelayan lokal.

“Volatilitas harga tembaga dan emas dunia juga akan berdampak langsung pada PAD NTB karena ketergantungan pada royalti. Kondisi ini membuat fiskal daerah tetap rentan terhadap gejolak global,” tambahnya.

BACA JUGA:  APBD 2026 Kabupaten Dompu Ditetapkan, Belanja Lebih Besar dari Pendapatan

Menghadapi tahun 2026, Fajrin optimistis target pertumbuhan 6 hingga 7 persen masih realistis dengan catatan operasional smelter stabil dan sektor pariwisata serta agroindustri terus dipacu. Ia juga menyoroti adanya potensi penurunan Transfer Ke Daerah (TKD) sebesar Rp1 triliun yang harus diantisipasi melalui efisiensi belanja dan dorongan investasi produktif.

Selain itu, ia menyarankan agar pemerintah fokus menjaga inflasi pangan pada awal 2026 untuk melindungi daya beli masyarakat pasca-kenaikan UMP. Fajrin juga mendorong optimalisasi remitansi Pekerja Migran Indonesia (PMI) agar diarahkan menjadi modal usaha produktif di desa.

“Untuk menekan ketimpangan atau rasio Gini, pertumbuhan harus digeser dari sektor padat modal seperti tambang ke sektor padat karya. Dengan begitu, manfaat ekonomi benar-benar menyebar secara luas ke seluruh lapisan masyarakat,” pungkasnya. [B-22]

Follow informasi Berita11.com di Google News






Pos terkait