Cegah Kekerasan Terhadap Perempuan dan Perkawinan di bawah Umur, KKP UIN Mataram Gelar Sosialisasi

Suasana sosialisasi ramah perempuan bertajuk Perlindungan Perempuan dan Anak serta isu Perkawinan Anak di kantor Yayasan Nurul Falah Desa Perina, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, Sabtu (27/7/2024) lalu.
Suasana sosialisasi ramah perempuan bertajuk Perlindungan Perempuan dan Anak serta isu Perkawinan Anak di kantor Yayasan Nurul Falah Desa Perina, Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah, Sabtu (27/7/2024) lalu.

Praya, Berita11.com— Masih maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak serta masih tingginya kasus pernikahan dini (usia anak) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi perhatian khusus kelompok Kuliah Kerja Partisipatif Universitas Islam Negeri (KKP UIN) Mataram.

Sebagai ihtiar meminimalisasi kasus tersebut, KKP UIN Mataram Desa Perina Kabupaten Lombok Tengah menggelar sosialisasi ramah perempuan bertajuk Perlindungan Perempuan dan Anak serta isu Perkawinan Anak. Sosialisasi digelar di kantor Yayasan Nurul Falah Desa Perina, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah.

Bacaan Lainnya

Kegiatan diikuti seluruh santri dan santriwati pondok pesantren setempat. Sosialisasi menghadirkan aktivis perempuan dan anak NTB yang juga perempuan berpengaruh tahun 2023, Suci Apriani.

Pada kegiatan sosialisasi, Suci Apriani memaparkan, perempuan seringkali dipandang sebagai objek kekerasan dan pelecahan. Jika perempuan mengalami pelecehan, maka setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, katakan tidak (say no) dengan lantang jika kemungkinan orang akan melakukan pelecehan.

Kedua go tell, ayo bercerita tentang pelecehan yang diterima ke keluarga atau teman yang dipercaya, kemudian melaporkannya ke badan-badan perlindungan anak dan perempuan.

BACA JUGA: Mahasiswi Sumbang Empat Medali PON untuk NTB, Ketua MK Puji Capaian STKIP Tamsis

“Jangan salah, korban pelecehan juga bisa menimpa laki-laki. Bentuk pelecehan kepada laki-laki bisa dalam beberapa bentuk,” kata Suci.

Suci menyebut, sejumlah bentuk pelecehan terhadap laki-laki, di antaranya dalam bentuk perhatian seksual. Biasanya kondisi ini melibatkan rayuan seksual yang tidak diinginkan (korban) seperti di tempat kerja dan kondisi lainnya.

“Ini bisa termasuk sentuhan dan dorongan seksual untuk berkencan,” ujarnya.

Sementara pelecehan gender adalah perilaku bermusuhan yang ditujukan untuk melemahkan seseorang, hanya karena jenis kelamin mereka.

“Hal ini dapat mencakup komentar yang menghina, lelucon tidak pantas untuk menyinggung, mengejek, hingga ancaman kekerasan,” jelas dia.

Pada kesempatan tersebut, Suci juga memaparkan materi isu perkawinan anak, termasuk kelompok yang masuk dalam golongan anak. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjelaskan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

“Usia perkawinan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun,” jelas Suci.

Menurutnya, banyak dampak positif yang diterima perempuan jika menika dalam usia anak. Pertama dari aspek finansial. Saat seseorang memutuskan menikah usia anak, persoalan yang akan dihadapinya ketika menghidupi keluarga tersebut, sebagian bergantung kepada orang tua, menjadi pekerja lepas dan tak sedikit dari masyarakat akan memilih merantau menjadi pekerja migran di luar negeri.

BACA JUGA: 105 Mahasiswa STKIP Tamsis Lolos Program Kampus Mengajar 6, Dua Diplot di Lombok dan Makassar

“Kedua dari segi psikologis yang muncul terhadap perkawinan seorang anak bermacam-macam seperti emosi tidak terkendali, kurang mengerti dan memahami sebagai seorang istri, minim pengetahuan tentang ilmu dalam berumah tangga sehingga akibat dari kasus ini tak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk bercerai,” ujar Suci.

Dampak negatif lainnya, kekerasan fisik dan pihak yang paling dirugikan perempuan. Selain itu, jika seorang perempaun menikah dalam usia anak, beresiko melahirkan anak dalam kondisi stunting, karena nutrisi yang seharusnya diserap oleh ibu bayi saat proses anaknya, harus dibagi dengan bayi.

“Belum lagi dengan kasus bayi yang lahir prematur karena alat reproduksi yang belum matang. Hal ini juga meningkatkan rasio terjadinya komplikasi saat melahirkan,” jelas Suci.

Selain santri dan santriwati, sosialisasi juga diikuti dewan guru di Ponpes Nurul Falah Desa Perina dan anggota KKP UIN Mataram Desa Perina. [B-22]

Follow informasi Berita11.com di Google News

Pos terkait