Mataram, Berita11.com— Direktur Lembaga Sosial dan Politik, Mi6, Bambang Mei Finarwanto mengingatkan para bakal kontenstan pemilihan umum (Pemilu) 2024 mendatang agar tidak menggunakan kampanye hitam (black campaign) untuk mencapai tujuan politik.
Menurut Didu—sapaan akrab Bambang Mei Finarwanto, politik asimetris black campaign yang ditekan dengan memanfaatkan beragam platform media, termasuk media sosial (Medsos) bisa menjadi blunder dalam persepsi publik, manakala isu yang diperebutkan saat besamaan tidak disertai data dan fakta, maka akan dicap sebagai disinformasi atau hoaks.
Dikatakan Didu, semakin meningkatnya kesadaran politik rakyat dibarengi mudahnya memperoleh informasi alternatif untuk validasi isu, kampanye hitam tidak efektif lagi sebagai sarana untuk memframing citra lawan politik pada era kemajuan teknologi 4.0.
“Memblow up isu lewat skema black campaign yang hanya berdasarkan asumsi semata justru bisa menjadi sarana infotainment gratis menaikkan citra lawan politik lewat persepsi publik,” kata Didu, Minggu (23/10/2022).
Didu mengatakan, saat era keterbukaan informasi dan demokratisasi seperti saat ini, gerakan kampanye hitam hanya menjadi ajang promosi gratis atau sarana sales promotion gratis semakin membesarkan citra baik lawan politik. Hal itu bisa terjadi jika desain kampanye politik hitam itu tendensius.
“Kesalahan fatal memakai strategi politik hitam, ketika menstigma publik mudah ‘hanyut’ dan terpesona oleh berbagai kecanggihan platform media yang dipakai mendelegitimasi citra lawan politik, padahal makin ke sini publik makin cerdas dalam memilih dan memilah berbagai informasi lewat satu klik, yakni Mbah Google sebagai sarana validasi informasi terkini,” urai Didu.
Didu melanjutkan, gerakan kampanye politik beberapa dekade sebelumnya, mungkin bisa jadi efektif kala dilakukan secara manual, saat publik tidak memiliki informasi penyeimbang karena teknologi digital belum berkembang pesat.
“Kesalahan taktik politik kampanye hitam berawal ketika muncul asumsi subjektif yang mengira publik mudah digiring persepsinya. Ibarat marketing product, kampanye hitam yang dilakukan, diduga tidak diimbangi dengan melakukan mapping (pemetaan) kecendrungan konsumen politiknya diberbagai strata,” jelasnya.
Mantan Direktur Walhi NTB itu menggarisbawahi, yang perlu disadari saat ini ada disparitas antara generasi milenial, generasi Z dan Alpha yang memiliki cara berpikir dan dimensi yang berbeda , berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya dalam mengendors maupun menyikapi momentum tertentu.
Sebagai ilustrasi , saat ini dikalangan anak muda lagi trend istilah FwB (Friend with Benefit) yang mencerminkan relasi simbiosis mutualisme yakni pertemanan yang saling memberikan manfaat. Sementara dalam politik, pertemanan cenderung bersifat interest dan ideologis yang tidak sepragmatis seperti FwB.
“Perlu disadari pula keberterimaan dan bisa cair di generasi era saat ini tentu butuh penyesuaian dan persiapan sosial yang tidak mudah. Mengingat mereka memiliki sekat ruang privasi yang eksklusif pada minat dan kesukaan yang sama yang kerap berjarak dengan realitas sosial kekinian, termasuk urusan politik,” pungkas Didu. [B-11]