Bergerak Keluar dari Zona Merah

Diskusi Lintas Sektor di Bima Membahas Upaya Deradikalisme. Foto MR.

Hingga kini wilayah Kabupaten Bima dan Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat masih identik dengan stigma zona merah, sebagai daerah yang lekat dengan aksi kekerasan, termasuk radikalisme dan terorisme, meskipun sudah beberapa kali Bima dideklarasi bukan daerah zona merah. Entah siapa yang memberikan predikat itu, namun penilaian itu memberi spirit banyak kalangan di Bima berjuang agar keluar dari label itu.

Di luar pandangan negatif tentang Bima yang lekat dengan zona merah, setiap tahun hampir selalu ada warga Bima yang ditangkap berkaitan kasus radikalisme dan terorisme. Pada 8 Juni 2020 lalu, Datasemen Anti Teror 88 Polri menangkap dua pria di tempat berbeda yakni di Desa Kalampa, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima dan Kelurahan Penatoi, Kecamatan Mpunda, Kota Bima, yang diduga terkait terorisme.

Bacaan Lainnya

Dalam pandangan beberapa tokoh masyarakat, akademisi dan generasi milenial di Bima, bahwa Bima bukan daerah zona merah radikalisme maupun terorisme.

Majelis Pembina Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Bima, Eldan M Nur misalnya, menolak Bima diberi predikat zona merah atau daerah nyaman radikalisme dan terorisme. Hal yang mendasar menurut dia, jika Bima merupakan zona merah, maka otomatis daerah yang memiliki motto Maja Labo Dahu (Malu dan Takut) ini sudah berstatus darurat militer.

“Saya menolak anggapan bahwa Bima adalah zona merah radikalisme maupun terorisme. Kalau benar zona merah, tentu sudah diterapkan status darurat militer di sini (Bima). Tapi nyatanya hingga sekarang nggak,” katanya.

Kendati demikian, mantan pengurus Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIP) Mbojo Bima ini mengatakan bahwa semua pihak harus berupaya mencegah radikalisme dan terorisme, karena tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan dan paham tersebut. Radikalisme dan terorisme juga tidak bisa selalu dikaitkan dengan Islam.

“Kita tahu dalam Islam ada ajaran tentang Islam rahmat bagi sekalian alam atau rahmatan lil alamin,” katanya.

Eldan mengatakan, dia dan kawan-kawannya yang tergabung dalam PMII memiliki misi mewujudkan Bima yang aman dan ramah. Jauh dari kesan angker, apalagi berkaitan radikalisme dan terorisme. Karenanya, harus ada diskusi terbuka secara berkelanjutan yang dapat diterima nalar generasi milenial dan masyarakat umum di Bima tentang resolusi konflik maupun berkaitan radikalisme dan terorisme.

Menurut dia, salah satu terobosan yang bisa dilakukan pemerintah dalam menangani radikalisme dan terorisme dengan mempertimbangkan penanganan kasus tersebut dilakukan secara terbuka dan peradilan terdakwa kasus radikalisme dan terorisme dilaksanakan di Bima. Tujuannya agar masyarakat Bima menyadari bahwa penanganan radikalisme dan terorisme memiliki bukti dan alasan yang kuat.

“Biar ada efek bahwa itu tidak boleh dilakukan. Perlu dilakukan secara terbuka dan dilakukan di Bima. Karena juga kadang ada salah tangkap,” katanya di Bima saat dihubungi Berita11.com, Jumat (5/11/2020).

Dia mengatakan, secara umum, orang Bima indentik dengan kepribadian tegas dan teguh terhadap ajaran agama, terutama ajaran-ajaran dalam Islam yang sebagian besarnya tunduk terhadap perintah Allah SWT (sami’na wa’thona). Keluar dari zona merah harus menjadi ikhtiar bersama melalui aksi-aksi nyata mendukung program deradikalisasi, walaupun secara umum masyarakat Bima menolak label tersebut.

“Karena warga Bima identik dengan keras atau berkepribadian teguh, sehingga pola-pola pendekatan dalam penanganan deradikalisasi harus menggunakan cara yang logis dan sesuai kultur masyarakat Bima,” ujarnya.

BACA JUGA: FGD di Loteng, Humas Polri Serukan Santri-Santriwati Tolak Radikalisme dan Terorisme

Hampir sama dengan Mabincab PMII Cabang Bima, Ketua Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bima, Muhammad Kurnia M.Pd menyatakan dukungan terhadap deradikalisasi yang dilakukan pemerintah dalam upaya menghilangkan radikalisme dan terorisme.

Menurut Kurnia, sesuai pengamatan GP Ansor, radikalisme tidak terkait ajaran dalam agama, termasuk Islam. Namun terorisme tetap harus disikapi serius agar masyarakat tidak tidak terpapar paham tersebut.

“Keutuhan NKRI wajib kami jaga dari rong-rongan kelompok yang sengaja membelah dan (membuat) perpecahan umat, terutama dalam kehidupan beragama dan berbangsa,” katanya.

Dalam kacamata Kurnia, mencegah radikalisme juga membutuhkan peran banyak pihak, termasuk generasi milenial, masyarakat, kyai dan ulama hingga komunitas terkecil. Beberapa upaya yang bisa dilakukan di antaranya dengan terus memupuk persatuan dan sikap saling menghargai perbedaan. Karena Indonesia disatukan atas kesamaan nasib, walaupun terdiri dari berbagai suku dan agama.

“Sebagai bentuk kerukunan umat beragama, tentu kita saling menghargai kultur dan budaya dalam kehidupan beragama dan berbangsa. Menghargai satu sama lain, suku ras dan beragam budaya,” katanya.

Satu pendapat dengan GP Ansor, Ketua Pimpinan Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Muhammad Yamin M.Pd mengatakan, upaya pencegahan terhadap radikalisme dan terorisme harus terus dilakukan. Karena paham tersebut tidak terkait dengan salah satu agama, termasuk Islam yang mengajar kedamaian melalui konsep Islam Rahmatan Lil Alamin.

Menurut dia, beberapa solusi yang bisa diterapkan di Bima yang sudah lekat dengan predikat zona merah, yaitu dengan menguatkan peran pemuda dalam program deradikalisasi. Perlu ada diskusi rutin di kalangan pemuda maupun milenial agar terbuka tentang radikalisme.

“Perlu upaya pencegahan dan memerlukan peran berbagai pihak termasuk pemuda dalam segala aspek agar dilibatkan,” katanya.

Yamin mengatakan, di kalangan Pemuda Muhammadiyah di Bima sendiri memiliki program dan upaya dalam membantu pemerintah dan aparat keamanan dalam menciptakan Kamtibmas melalui diskusi tentang resolusi konflik, termasuk di antaranya terkait upaya pencegahan radikalisme.

“Dalam beberapa minggu ke depan kami juga mengagendakan diskusi terkait pencegahan radikalisme dan terorisme,” katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Pengkajian Masalah Sosial dan Penanganan Masalah Konflik, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Bima, Muhammad Firdaus mengatakan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bima terus berupaya agar Bima keluar dari stigma zona merah radikalisme dan terorisme. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah daerah di antaranya dengan menyalurkan bantuan bagi penyintas dan keluarganya.

Pemkab Bima ingin mendekatkan pelayanan sosial terutama bagi penyintas dan keluarganya. Menghilangkan anggapan kelompok tertentu bahwa pemerintah hanya memberi keadilan kepada sebagian pihak.

Menurut Firdaus pendekatan pelayanan merupakan hal penting memutus kelompok yang rentan terpapar radikalisme. “Program kami dengan memberikan bantuan kepada eks (penyintas) dan keluarganya. Tahun 2021 kami memprogramkan bantuan dan menfasilitasi pembuatan identitas bagi keluarga atau anak penyintas, karena ternyata masih banyak belum memiliki identitas sehingga kesulitan mengakses bantuan,” ujar Firdaus di kantor Bakesbangpol Kabupaten Bima, Selasa (10/11/2020).

Bakesbangpol Kabupaten Bima membangun kesepahaman dengan lintas instansi di daerah untuk membantu pembuatan identitas kerabat penyintas yang akan dilaksanakan pada tahun 2021 mendatang. Selain berkolaborasi dengan pemerintah pusat dalam program deradikalisasi, Pemerintah Kabupaten Bima juga terus menguatkan program wawasan kebangsaan melalui penguatan sosialisasi empat pilar kebangsaan pada kalangan milenial dan pelajar dalam mencegah radikalisme di lingkungan sekolah maupun kampus.

“Program spesifik tidak ada, tetapi kami terus melaksanakan program peningkatan wawasan kebangsaan melalui empat pilar kebangsaan,” ujarnya.

Pada bagian lain, Akademisi Institut Agama Islam Muhammadiyah Bima, Irwan M.Pd.I menegaskan, bahwa Islam adalah agama yang membawa kedamaian dalam konsep besar Rahmatan Lil Alamin, sehingga sudah seharusnya menghindari pemikiran tentang kekerasan. Apalagi berkaitan radikalisme.

BACA JUGA: Peta Sebaran Sekolah Rusak di Kabupaten Bima

Menurutnya, masyarakat perlu diberi pemahaman tentang ajaran Islam secara utuh, sehingga memahami konsep pentingnya menjaga silaturahmi, saling menghormati yang juga diajarkan dalam Islam. “Masyarakat kita kadang lihat orang bahasa Arabnya seperti kelihatan fasih langsung tersentuh. Tapi juga harus dikaji lebih dalam apa yang disampaikan,” ujar Ketua Seksi Tabligh Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bima ini.

Mantan juara MTQ Provinsi NTB ini juga berpendapat, tantangan yang dihadapi umat Islam termasuk di Bima ke depan adalah perang pemikiran (ghazwul fikri). Di tengah tantangan di daerah, masyarakat harus tetap berikhtiar menumbuhkan rasa persaudaraan dan menjaga kedamaian di daerah untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Kita bermunajab saja kepada Allah, bikin suasana Kamtibmas yang baik dan ikut nimbrung membantu pembangunan bangsa dan negara kita, supaya kita benar-benar normal. Tidak hanya new normal saja. Kita tetap berharap Indonesia kita, daerah kita, Allah selamatkan dari paham-paham yang merusak akidah dan merusak persatuan kita semua,” katanya.

Mengamati kondisi kekinian negara, menurut Irwan, salah satu yang terpenting sekarang adalah menyampaikan dakwah bil hikmah atau berdakwah dengan cara arif dan bijak.

“Kalau bahasa Qurannya, menyampaikan sesuatu itu dengan Bil Hikmah Wal Mauizhatil Hasanah. Beri pelajaran bahwa kita ini menjunjung tinggi dan semuanya mengingikan aman, damai, tentram, NKRI kita tetap jaya, tetap utuh dan mudah-mudahan daerah kita tetap kondusif,” ujar dia.

Respon Kalangan Pelajar

Mengenai pencegahan paham radikalisme dan terorisme di Bima, Nusa Tenggara Barat juga mendapat perhatian Generasi Z. Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi, STISIP Mbojo Bima, Syarif Hidayatullah misalnya, berpendapat bahwa mencegah paham tersebut bukan saja tanggung jawab pemerintah, melainkan lintas generasi termasuk milenial dan Generasi Z yang masih kosong dan rawan terpapar segala jenis paham.

Kendati demikian, dia menolak jika terorisme dan radikalisme diindentikan dengan salah satu agama. Misalnya agama Islam yang juga dianutnya. “Sepakat jika itu perlu peran semua pihak. Karena Pancasila juga merupakan pemikiran para ulama yang ikut bersepakat dan mendirikan NKRI,” katanya.

Menurut dia, gerakan bersama hingga komunitas terkecil di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah bentuk nyata menolak Bima sebagai zona merah radikalisme dan terorisme. Hal itu juga perlu disadari oleh kalangan akademisi maupun kelompok pemuda.

Sebelumnya, saat dialog da’i pemula dalam rangka Mencegah Berkembangnya Paham Radikalisme dan Terorisme di Kota Bima tahun 2016 lalu, mantan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi NTB, Drs H Lalu Mujditahid pernah menegaskan bahwa Bima bukan zona merah terorisme.

Mujditahid menegaskan pernyataanya itu dengan mengutip hasil penelitian sebuah lembaga terkait radikalisme dan terorisme di NTB. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa masyarakat di NTB menolak segala bentuk kekerasan, termasuk radikalisme dan terorisme. Namun mayoritas NTB masih diam (pasif) terhadap aksi-aksi kekerasan, sehingga menjadi tantangan tersendiri dan memerlukan aksi nyata.

Sebagaimana data Bakesbangpol Kabupaten Bima, setiap tahun terdapat warga Bima, Nusa Tenggara Barat yang ditangkap berkaitan kasus radikalisme dan terorisme. Beberapa di antaranya terkait kasus lama yang terjadi di Bima maupun terkait jaringan MIT di Poso, Sulawesi Tengah. Beberapa di antara terdakwa itu sudah bebas murni dan ada yang bebas bersyarat setelah menjalani hukuman, di antaranya yang bebas pada 5 November 2020 lalu. [MR/ US]

Pos terkait