Di ujung timur Pulau Sumbawa,
di antara bukit dan padang yang menguning,
para petani bangun lebih pagi dari ayam berkokok.
Dengan tangan yang belum lepas dari lelah kemarin,
mereka menapaki tanah yang keras,
menyulam kembali harapan
di ladang-ladang jagung yang selalu menanti.
Mereka menanam bukan hanya biji,
tapi seluruh tubuh dan nasib.
Jagung bagi mereka bukan hanya makanan,
tapi jembatan menuju tahun depan—
atau jurang yang makin dalam.
Setiap musim tanam, mereka berharap:
langit bersahabat, tanah cukup lembab,
angin tak beringas, pasar tak kejam.
Namun di Bima, seperti di banyak tempat lain,
yang datang justru ketidakpastian,
yang tumbuh justru kecemasan.
Harga jagung menari-nari
di papan pengumuman tengkulak.
Kadang tinggi, seringnya rendah,
lebih rendah dari jerih yang mereka teteskan
ke tanah yang mulai kehausan.
Dan ketika jagung mulai kering,
dijemur di tanah lapang atau di tikar tepi jalan,
hujan datang tiba-tiba seperti ejekan.
Tanpa petir, tanpa aba-aba.
Air meluap, menyapu butiran emas
yang belum sempat ditimbang,
belum sempat dijual,
belum sempat menjadi beras di dapur.
Petani hanya bisa menatap,
dengan mata yang telah lama terbiasa
melihat harapan hanyut begitu saja.
Sebagian mencoba bertahan.
Sebagian terpaksa meminjam:
ke koperasi yang menolak,
ke bank yang rumit,
lalu akhirnya ke rentenir
yang datang dengan senyum manis
dan bunga yang tajam seperti sembilu.
“Bayar bulan depan,” katanya.
Tapi bulan depan tak pernah ramah.
Jagung yang dijual tak cukup
untuk menutup utang dan beli pupuk.
Bunga tumbuh lebih cepat dari tanaman,
dan petani terjebak
dalam lingkaran yang tak mereka ciptakan.
Mereka tak pernah menuntut banyak.
Mereka tidak ingin kaya,
hanya ingin jagung dihargai layak,
hanya ingin tidak takut
setiap kali langit mulai gelap.
Di warung kopi, mereka bicara pelan.
Tentang harga jagung yang tak pasti.
Tentang anak-anak yang ingin sekolah.
Tentang ladang yang tak lagi cukup basah.
Dan meski semuanya serba tak pasti,
mereka tetap menanam.
Dengan tangan yang kapalan,
dengan punggung yang makin bongkok,
dengan doa yang tak putus-putus
di antara bunyi cangkul dan desir angin.
Karena mereka tahu:
jika mereka berhenti,
tak ada lagi yang berdiri
di ladang-ladang sepi itu
selain rumput dan kenangan.
Maka mereka menanam lagi.
Di tanah yang sama.
Dengan harapan yang sama.
Di negeri yang tak pernah betul-betul berpihak,
mereka adalah sisa keberanian yang diam-diam tumbuh
di balik pohon jagung yang menggigil
menunggu matahari datang
dan harga yang adil.
Pantura, 24 Mei 2025