Bima, Berita11.com— Secara akumulatif, literasi di Kabupaten Bima masih rendah dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Barat. Namun pada tiga kecamatan model mulai menunjukan banyak perubahan pasca-pendampingan oleh tim Gemar Literasi Kabupaten Bima.
Salah satu upaya berkelanjutan yang harus didorong untuk meningkatkan literasi setiap daerah, yaitu perlunya aksi kolaboratif yang terencana dan terstruktur.
Hal tersebut mengemuka dalam Talk Show NTB Menyapa; Gemar Literasi Sebuah Refleksi dan Rencana Aksi, yang disiarkan oleh Bima TV melalui studio ruang Beradab STKIP Tamsis, Sabtu (8/1/2022) lalu. Talk Show yang dipandu langsung Ketua STKIP Taman Siswa, Dr Ibnu Khaldun M.Si ini menghadirkan sejumlah narasumber, pemangku kebijakan, pemerhati pendidikan hingga relawan literasi.
Manager Gemar Literasi, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia Kemitraan Australia Indonesia (Innovation for Indonesia’s School Children Australia Indonesia Partnership/ INOVASI) Kabupaten Bima, Dr Syarifuddin menjelaskan, pihaknya menemukan banyak potret siswa di Kabupaten Bima, di mana anak banyak yang diajak oleh orang tuanya ke ladang. Hal itu karena kondisi Kabupaten Bima yang agraris, sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani.
“Anak juga sering bermain. Berangkat dari hal-hal seperti itu, sehingga kami membentuk program Gemar Literasi. Kami membentuk beberapa program untuk mengatasi itu, di antaranya membentuk Fasda (fasilitator daerah). Ada yang dari relawan literasi dari Kabupaten Bima, berdasarkan dari lokakarya itu, Fasda mampu melatih guru-guru, kami melaksanakan lokakarya guru, kepala sekolah dan desa,” ujarnya.
Pendampingan yang dilakukan tim Gemar Literasi pada tiga kecamatan yakni Sape, Monta dan Langgudu, menerapkan metode baru dalam mengukur kemampuan literasi siswa, di antaranya membaca berbasis level yang ditinjau dari aspek kemampuan penguasaan huruf, kata, kalimat, cerita dan angka (numerasi).
“Pada beberapa bulan terakhir, kami sudah melakukan asesmen, mulai dari modul agak signifikan. Pembelajaran level ada pengaruhnya. Ketika dalam model pembelajaran, akan ada hal yang timbul. Di situ ada kelompok siswa yang mengenal huruf, sudah bisa membaca, program literasi yang kami laksanakan itu akan baik, dari kata masuk ke paragraf, ke kalimat,” jelas Waket I STKIP Tamsis ini.
Dr Syarifuddin juga mengungkapkan, output literasi pada tiga kecamatan pendampingan merupakan upaya bersama tim Gemar Literasi yang didukung berbagai pihak, termasuk organisasi perangkat daerah (OPD) seperti Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (Dikbudpora), Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfostik), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappeda Litbang), Unit Pelaksana Teknis Dikbudpora, pemerintah desa serta sejumlah pihak lain.
“Sehingga pada pelaksanaan, minimal kami melaksanakan dalam satu jam pembelajaran ini. Ketika kelas I, kelas IV masuk ke level cerita, tinggal kita memberikan anak-anak di tahun berikutnya. Didukung mahasiswa yang hebat di setiap desa, 17 desa, ada yang mendorong dan banyak muncul relawan literasi baru. Harapannya, mudah-mudahan program ini bisa kita laksanakan di sekolah lain,” harap Syarifuddin.
Sementara Manager Program INOVASI NTB, Sri Widuri yang bergabung dalam Talk Show NTB Menyapa melalui aplikasi zoom menjelaskan, tujuan utama program membentuk reformasi pendidikan, khususnya pada jenjang dasar (sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah /SD/MI). Tiga subjek yang didukung INOVASI, di antaranya guru dan pengawas.
“Kami juga mendukung penguatan mutu proses belajar mengajar di sekolah, penguatan tanpa diskriminasi, literasi dasar, kemampuan menulis dasar, kecapakan dasar mengenal numerasi,” ujarnya.
Selain di NTB, INOVASI juga bekerja pada tiga provinsi lain, yakni Jawa Timur, Kalimatan Utara, dan Nusa Tenggara Timur. “Masuk di Bima dari tahun 2017, melihat proyek di wilayah lain dan melakukan uji coba antara pemerintah Australia dan Indonesia, ada tiga hal yang kita raih,” katanya.
“Secara karakter, kita masih jauh dari harapan. Dari berbagai kenyataan begitu, di NTB terjadi kesenjangan antara kota, ibukota dengan desa, apalagi 3T dan juga siswa yang mengalami disabilitas. Kita masih punya modal kekuatan. Insya Allah kita olah secara kolaboratif,” ujarnya.
Menurut Sri, baru di Kabupaten Bima yang memiliki peraturan bupati (Perbup) literasi. Hal itu menandakan keseriusan mendorong literasi dari aspek regulasi. Produk hukum tersebut muncul dari rembuk pendidikan yang dimulai dari dua tahun lalu dan menjadi pemicu kolaborasi dari Dinas Dikbudpora dan Dinas Perpustakaan Arsip Daerah.
“Inisiatif disambut baik pemerintah melalui proses rembuk, di mana pemerintah duduk dengan stake holder lain dan juga tokoh-tokoh pendidikan. Mengapa di Kabupaten Bima merupakan yang literasi terendah di NTB? Program Gemar Literasi itu lahir dari proses rembuk, termasuk STKIP Tamsis yang kita banggakan,” ujar Sri.
Sri berharap, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) STKIP Tamsis terus bergandengan tangan dengan pemerintah. Tidak hanya meningkatkan kualitas guru, namun juga calon guru. Dia bersyukur sudah ada perubahan tri dharma perguruan tinggi, khususnya dari aspek penelitian dan pengabdian. Salah satunya yang ditinjau melalui program relawan literasi dan numerasi.
“Itu luar biasa dari aspek civil society, sudah banyak yang bergerak juga di luar LPTK, ada Kalikuma, ada Bima mengajar. PR (pekerjaan rumah) kita di Bima bagaimana gerakan ini disatukan, lebih masif dalam gerakan lebih besar, menguatkan kolaborasi. Salah satu peluang perubahan kurikulum Menristek Dikti,” ujarnya.
Berbagai upaya tersebut untuk masa depan anak Indonesia, sehingga memiliki kemampuan literasi dasar, kemampuan numerasi dasar dan karakter yang diharapkan, sehingga dapat cepat berkembang menjadi warga negara yang mampu bersaing.
“Kalau anak-anak belum kuasai kecapakan dasar, di masa depan akan tumbuh bukan saja tumbuh biasa, tapi mereka akan tumbuh tidak percaya diri dan berpotensi menimbulkan persoalan sosial di Kabupaten Bima. Untuk mengatasi persoalan ekonomi, sosial, kita bergerak untuk mendorong kecapakan anak-anak ini,” kata Sri.
Kepala Seksi Kurikulum Dinas Dikbudpora Kabupaten Bima, Dr Karyadin menjelaskan, kerja organisasi berbasis sistemik. Artinya bukan kerja individu. Namun bertindak atas dasar regulasi, di antaranya mencakup orang-orang yang berada di organisasi dan perlu peran masyarakat.
“Selama ini sistem di Dinas Dikpora sudah terpasang dengan baik, tinggal political will birokasi di dalamnya. Dunia persekolahan itu literasi. Kedua adalah memerintahkan kepada satuan pendidikan minimal memiliki koleksi 10 ribu buku, kita menguatkan masyarakat melalui peran masyarakat dan kolaboratif, ada Dompet Dhuafa kemudian INOVASI pada fase kedua yang akan melahirkan platform Gema Literasi,” ujar Karyadin yang bergabung dalam Talk Show NTB Menyapa melalui aplikasi zoom, mewakili Kepala Dinas Dikbudpora Kabupaten Bima.
Menurutnya, untuk terus mendorong literasi, perlu dibuat sampel terbatas dalam populasi yang luas di satuan pendidikan. Output Gemar Literasi juga diharapkan berbasis data. “Output anak-anak kita mendapatkan hasil belajar yang bagus ini perlu kerja sama ke depan. Satu kata kunci kami di Dikpora, sistem di Dikpora sudah terpasang, kami berterima kasih, semakin banyak komponen yang terlibat di Kabupaten Bima akan mempercepat proses pendidikan di Kabupaten Bima,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bima, Taufiqurahman yang hadir sebagai narasumber dalam Talk Show NTB Menyapa di Studio Beradab, juga menyampaikan apresiasi terhadap program Gemar Literasi yang didukung INOVASI di Kabupaten Bima. Menurutnya, kondisi literasi di Kota Bima dan Kabupaten Bima hampir sama, apalagi pada beberapa kelurahan di pinggir kota.
“Literasi ini sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh kita semua terutama siswa-siswa kita. Seiring perkembangan Kementrian Pendidikan menyiapkan gerakan literasi nasional. Kami mengeluarkan gerakan literasi nasional, memang kami belum bekerja sama dengan INOVASI, tapi kami sudah keluarkan surat gerakan literasi sekolah,” ujar mantan Kabid Dikdas Dinas Dikpora Kota Bima ini.
Kegiatan literasi dilaksanakan setiap satuan pendidikan pada Senin-Sabtu sebelum memulai kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas. Salah satu contohnya membaca Alquran setiap Jumat dan kegiatan membaca sebelum memulai KBM biasa.
“Sudah terstruktur gerakannya. Memang belum tuntas programnya, ada anak yang belum selesai Calistungya (baca tulis hitung). Ada beberapa sekolah yang di pinggir. Pada satuan pendidikan yang tidak mengenal Calistung membentuk tim untuk menangani khusus anak yang masalah Calistung. Karena dasar mereka ke kelas II syarat Calistungya. Tapi kebijaksanaan sekarang nanti bisa menyesuaikan hingga kelas IV,” ujarnya.
Dikatakannya, Dinas Pendidikan Kota Bima mengarahkan satuan pendidikan agar paling telat dua bulan siswa SD sudah tuntas Calistung. Salah satu strateginya memasang guru-guru senior alumni sekolah pendidikan guru (SPG) menangani siswa di kelas bawah. Selain itu, dinas mendorong satuan pendidikan untuk menerapkan digitalisasi sekolah, terutama perpusatakaan sekolah dengan memanfaatkan bantuan operasional sekolah (BOS).
“Tentunya ini tidak berjalan tanpa tiga pilar, satuan pendidikan, pemerintah dan masyarakat. Misalnya menggunakan buku penghubungnya orang tua nyambung, sehingga saat (siswa) naik ke yang lebih tinggi, Calistungnya sudah baik. Kota Bima juga sudah melakukan Germes (gerakan membaca satu hari). Literasi hampir sama kondisinya dengan Kabupaten Bima Bima,” ujar Taufik.
Sementara itu, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Kota Bima, Suhardin M.Si menungkapkan, secara umum upaya mendongkrak literasi di Kota Bima sudah berjalan baik, di antaranya melalui pembentukan kelurahan literasi, tim literasi setiap satuan pendidikan dan rumah literasi setiap kelurahan yang pernah digagas Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi NTB. Hanya saja baru menyasar literasi dasar.
Berbagai upaya mendongkrak literasi dimulai pada tahun 2015 setelah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerja, yang termasuk di dalamnya program literasi nasional yang kemudian diturunkan setiap daerah.
“Permendikbud 23 tentang Penumbuhan Budi Pekerti kemudian di-break down (diturunkan) dengan literasi nasional, salah satunya literasi. Makanya yang jadi problem saat ini literasi dasar sebagaimana disampaikan Ibu Sri, literasi numerik dan pendidikan karakter yang jadi problem. Survei yang dilakukan, literasi kita berada di beberapa nomor urutan terakhir, ini problem,” ujarnya.
Menurut Suhardin, pandemi Covid-19 juga berdampak terhadap indeks literasi (Calistung) di Kota Bima. Sebagai contoh di sekolah yang dipimpinnya, SDN 5 Kota Bima. Semula, akhir tahun 2019 dan awal 2020, tersisa 2,7 persen siswa kelas bawah yang memiliki masalah kemampuan litearsi dasar, namun pada awal tahun 2021 saat KBM tatap muka terbatas digelar, 48 persen siswa kembali tidak bisa membaca.
“Kemudian kita melakukan maping, data-data itu kita coba diolah sedemikian rupa, sehingga ada yang baru mengenal huruf, suku kada dan sebagainya, sehingga sekolah-sekolah membentuk tim. Kalau di sekolah saya namakan tim pemberantasan buta huruf, mengangkat hal lama yang lebih ekstrim, sehingga bulan Juli (2021) lalu memulai pembelajaran tatap muka terbatas, 8 persen tadi kembali turun signifikan,” ujar Suhardin.
Menurut dia, sesuai pengamatan umum kebiasaan dalam masyarakat dan lingkungan satuan pendidikan, ada perubahan kecendrungan tentang literasi, di mana pada umumnya masyarakat, sekolah dan lingkungan akademis cenderung membaca sumber-sumber atau literatur dari media elektronik seperti dari media sosial, sehingga malas membaca buku cetak (convensional).
“Berangkat dari fakta itu, Pemkot dalam hal ini Dikbud menginisiasi kebijakan, program digitalisasi sekolah yang sejalan dengan program Merdeka Mengajar di sekolah penggerak, dan itu sangat mendukung literasi, karena kita tahu ada literasi budaya, ada literasi digital, literasi finance, literasi numerik dan literasi bahasa, Pemkot Bima sudah di lima kecamatan melakukan Bimtek gratis e-library perpustakan digital,” ujarnya.
Tidak hanya untuk sekolah penggerak, program literasi digital juga disiapkan bagi masyarakat (orang tua murid) dan sekolah di kelurahan pinggir yang bisa diakses melalui buku semi digital. Satuan pendidikan dan masyarakat di wilayah pinggir yang tidak didukung akses internet memadai bisa mengkases perpusatakaan digital (e-library) dengan memindai kode bar (barcode) sehingga tetap dapat mengakses buku digital melalui gawai canggih (smartphone).
“Kami luncurkan tahun 2020 namanya Bupetik, Dompu juga segera membangun perpusataan maya. Literasi di Kota Bima sudah terstruktur, misalnya literasi budaya,” kata Suhardin.
Kepala Bidang Perencanaan Sosial dan Budaya Bappeda Litbang Kabupaten Bima, Raani Wahyuni ST MT M.Sc mengatakan, program Gemar Literasi yang didukung INOVASI dan diterapkan pada 25 sekolah model di tiga kecamatan dapat menjadi pemicu (trigger) bagi program lain dalam mendukung literasi di Kabupaten Bima.
“Ini bisa menjadi trigger bagi program lain yang akan mendukung literasi di Kabupaten Bima, ke depannya. Kita menginginkan sekolah-sekolah lain mendapat pengimbasan, kecamatan kecamatan lain mendapat pengimbasan sehingga program literasi ini lebih masif,” katanya.
Menurut Raani, program baik yang tidak didokumentasikan dengan baik atau tidak dilaporkan dengan baik, maka tinggal cerita. “Kita sambungkan agar cerita-cerita baik ini, agar jadi feedback bagi Pemerintah Kabupaten Bima dan masyarakat, sehingga titik-titik kritis bisa kita jembatani, jadi pengimpit untuk gerakan literasi di Kabupaten Bima,” katanya.
Sementara Akademisi STKIP Bima,Tasrif M.Pd yang juga hadir sebagai narasumber dalam NTB Menyapa menyampaikan kritik terhadap pengambil kebijakan dalam upaya mendorong literasi. Menurutnya, masih banyak fakta mencengangkan potret pendidikan di Bima, di antaranya masih ada siswa kelas VI yang tidak bisa membaca dan menulis.
“Saya dampingi beberapa sekolah di Kabupaten bima, masih ada siswa kelas VI yang tidak bisa membaca dan menulis. Ini di forum ini saya harus mengatakan itu supaya didengar oleh pemangku kebijakan, kemudian Dinas Pendidikan, masih ada kelas V dan kelas VI yang tidak bisa membaca, ada beberapa anak yang saya berikan reward kepadanya bahwa bila anak ini bisa membaca dalam waktu pendampingan berikutnya,” ujar Tasrif.
Tasrif menyatakan, fakta tersebut merupakan preseden buruk, di mana Indonesia sedang menghadapi darurat literasi. “Kalau di Kota Bima saya mengatakan literasi di kota sudah bagus, kalau literasi baca tulis. Tapi kan sekarang ini literasi mengalami redefinisi, literasi bukan sekadar baca tulis, sudah berkembang jadi literasi digital, literasi finance, literasi kultural, literasi kewargaan dan seterusnya. Sampai pada tingkat ini kita masih nol barangkali,” kritik Tasrif.
Untuk mengatasi problem tersebut butuh perhatian serius pemerintah, tak sekadar cuap-cuap manis di forum. Butuh aksi nyata di lapangan. “Saya mengutip beberapa pendidikan literasi dunia itu, misalnya penelitian dari John Miller Mckinney. Ada dua yang harus diperhatian dalam pendidikan. Misalnya akses dan kebijakan. Akses kalau kita pahami perpusatakaan (library) adalah jendela ilmu pengentahuan. Coba kita lihat perpusatakaan kita di sekolah, ada nggak? Kalau ada berapa buku?” katanya.
Tasrif juga mengkritik pernyataan Kasi Kurikulum Dinas Dikbudpora Kabupaten Bima yang menyiapkan 1.000 buku. Namun kenyataannya masih banyak satuan pendidikan yang belum memiliki perpustakan dan kondisi fisik sekolah yang memprihatinkan.
“Persoalan kita adalah budaya (cultural). Kita memahami literasi sangat rendah, keinginan kita membaca sangat rendah. Nggak usah jauh-jauh, guru setiap bulan mendapatkan sertifikasi, pertanyaan saya dari sertifikasi berapa guru Kabupaten Bima yang membeli buku sebagai produk literasi. Angan-angan kita yang jadi masyarakat literat masih sangat jauh,” ujarnya.
Tasrif mengatakan, indeks literasi di Bima masih sangat rendah, termasuk Indonesia secara umum. “Kalau bisa kita selesaikan ini, kita rasa kita menuju masyarakat literasi. Sekarang kita berbicara literasi fungsional, di negara-negara maju atau misal di daeah-daerah yang maju sudah berbicara literasi 4.0 (revolusi industri), bahkan meta literasi. Oleh sebab itu PR kita semua, kita belum berbicara literasi aspek literasi keluarga,” katanya.
Ketua PGRI Kabupaten Dompu, Arsul Riadi S.Pd mengatakan, perlu upaya kolaboratif yang terstruktur untuk terus memecahkan persoalan literasi. Dalam memecahkan persoalan pendidikan di Dompu, pihaknya juga menerapkan pola yang disesuaikan etnografis sebagaimana yang diterapkan dalam program INOVASI, yaitu proses literasi dan adaptasi (problem driven interactive adaption/ PDIA).
“Gemar literasi desa, pendidikan ini harus didukung semua aspek, tidak hanya guru, dukungan dari masyarakat dan guru, selain dukungan dari sumber daya yang ada,” ujar Asrul.
Hal senada juga disampaikan relawan literasi/Direktur Sarangge Baca, Adipati S.Pd. Menurutnya, untuk memecahkan problem literasi perlu keterlibatan multisektor, termasuk pemangku kebijakan. Selama ini Sarangge Baca begerak sendiri tanpa dukungan anggaran dari manapun, termasuk pemerintah. Pihaknya mendapatkan tambahan koleksi bahan bacaan dari pemerintah daerah, namun buku cetak bekas. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Sarangge Baca untuk terus bergerak mendongrak literasi.
Talk Show NTB Menyapa melalui Studio Beradab bertajuk Gemar Literasi Sebuah Refleksi dan Rencana Aksi yang dipandu Dr Ibnu Khaldun M.Si merupakan kerja sama Stasiun Bima TV dengan STKIP Taman Siswa. [B-19]