Prestasi Sepak Bola tak Melulu soal Sarana-Prasarana
Ketua Askab PSSI Bima, Khairuddin Djuraid mengatakan, pihaknya baru saja memulai mengurai benang kusut masalah sepak bola di Kabupaten Bima, termasuk manajemen organisasi klub sepak bola. Pengembangan prestasi sepak bola berkaitaan tiga hal, yaitu pembinaan, usia pemain dan kompetisi berjenjang serta reguler. Beberapa tantangan Askab PSSI Bima dalam mengembangkan talenta sepak bola terutama berkaitan modal. Apalagi dari apsek regulasi, pemerintah daerah tidak diperkenankan mengalokasikan APBD untuk sepak bola.
“Pembinaan itu alhamdulillah adik-adik kita dari Woha FC. Kita kirim anak-anak ikut festival U-12, padahal saat zaman zaman Ady Setiawan kita juara sampai level Asia Tenggara. Kita bicara kompetisi reguler, sehingga pelatih dan pencari bakat (talent scouting) bisa mendeteksi bakat-bakat pemain. Untuk terlibat di NTB saja harus punya uang Rp200-300 juta dan itu saya alami, saat membantu teman-teman Persebi kemarin,” ujarnya.
Menurut dia, setiap kompetisi sepak bola membutuhkan modal tak sedikit. Sebagai contohnya, biaya yang dibutuhkan klub untuk lolos hingga 64 besar kompetisi nasional liga III hingga Rp500 juta. Demikian juga untuk lolos 30 besar dibutuhkan Rp1 miliar. Seterusnya untuk lolos 16 besar dibutuhkan modal Rp5-6 miliar.
“Saya mau katakan mungkin Bima belum memiliki kemewahan, karena Pemda sudah tidak diperkenankan membantu klub sepak bola. Karena jika mengandalkan APBD tidak mungkin,” ujarnya.
Khairuddin mengatakan, klub sepak bola dari Kota Bima dan Kabupaten Bima belum mampu mencicipi kasta tertinggi sepak bola nasional karena belum memiliki berbagai kelebihan seperti modal. Namun di tengah keterbatasan tersebut, Askab PSSI Bima akan berupaya maksimal. Salah satunya dengan menggelar kompetisi gabungan seluruh klub, yang kemudian diklasifikasi secara berjenjang beberapa liga amatir khusus klub di Kabupaten Bima. Pengalaman yang tidak diinginkan pihaknya seperti nasib klub di KSB yang sempat mencicipi kasta sepak bola Indonesia pada level nasional, namun kemudian terdegradasi dan kini tidak terkelola dengan baik.
“Kami tentukan tiga zona lapangan karena berkaitan animo penonton juga. Pembiayaannya dari biaya pendaftaran, sponsorship pemerintah dan juga pendapatan dari penonton, tiket dan lainnya. Kami berikan contohnya, uang bukan segala galanya, tapi segala galanya butuh uang,” ujarnya.
Askab PSSI Bima fokus mendorong talenta pemain dalam jangka 3-5 tahun mendatang, di antaranya melalui pembinaan klub. Sudah puluhan tahun kiprah Askab PSSI Bima, yang tergabung hanya 15 klub sepak bola, kemudian seiring revitalisasi dan berbagai langkah perbaikan, tercatat sudah 61 klub yang terdaftar di Askab PSSI Bima. PSSI Kabupaten Bima membuka kesempatan kepada setiap klub, selama mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan Askab. Dari sisi kompetisi, organisasi juga terus menggelar berbagai pertandingan seperti liga atau festival pelajar untuk U-14 dan U-16 serta U-12. Selain itu menyelenggarakan Copa Bupati Bima yang mempertemukan seluruh klub setiap tahun.
“Dari sini pemain itu bisa dideteksi oleh pelatih, para pencari bakat (talent scouting). Para pencari bakat bisa melihat bakat jika ada kompetisi, jika ada sekolah-sekolah sepak bola yang dibina secara baik. Sarana dan prasarana penting buat kita. Satu-satunya dari dari 10 kota kabupaten di NTB ini yang kita sadari, Kabupaten Bima dan Kota Bima yang belum memiliki studion,” ujarnya.
Kendati demikian, sarana-prasarana bukan hal utama atau hanya faktor ketiga pengembangan sepak bola. Khairuddin mencontohkan situasi anaknya yang belajar pada salah satu sekolah sepak bola (SSB) di Jakarta. Lingkungan tempatnya menetap tersebut tidak terdapat banyak lapangan representativ dan hanya menggunakan rumput sintetis. Namun SSB di lingkungan yang sama tempat anaknya ditempa, justru selalu meraih juara.
“Artinya sarana prasarana bukan penentu tanpa ada pembinaan yang baik, tanpa kompetisi yang benar,” ujarnya.
Secara historis, sepak bola di Kabupaten Bima memiliki potensi besar dan riwayat prestasi yang bagus. Sebagai contohnya, 18 klub yang bertanding dalam liga III zona NTB tahun 2021 lalu, terutama di Rayon Pulau Sumbawa, hampir seluruhnya merekrut pemain dari Kabupaten Bima dan Kota Bima. Demikian juga pada Rayon Pulau Lombok seperti klub Bima Sakti, 80 persen pemainnya berasal dari Bima. Begitu pula dengan pelatih klub.
“Dari sisi potensi pemain, kita di Kabupaten Bima mendapatkan satu berkah, bonus demografi. Jumlah usia produktif lebih banyak dari usia tidak produktif. Iini adalah potensi yang harus dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah, tentu bersinergi dengan Pemprov, pemerintah pusat, stake holder lainnya, kampus dan swasta. Dalam rangka pembinaan dan pengembangan sepak bola di Kabupaten Bima,” kata Khairuddin.
Khairuddin melihat turnamen Gubernur NTB Cup yang digelar di lapangan Semangka Kecamatan Sape, adalah pintu masuk pengembangan sepak bola di Kabupaten Bima, termasuk mewujudkan industri sepak bola. Animo masyarakat pada kompetisi tersebut juga menggairahkan cabang olahraga ini. Keterlibatan masyarakat dan kehadiran penonton memberi andil perputaran uang dalam kegiatan turnamen tersebut. Pihaknya berasumsi perputaran uang itu Rp1-2 miliar.
“Dari tiket tribun, parkir dan pertumbuhnan ekonomi sekitarnya plus minus Rp1,5-2 miliar asumsi kami. Artinya sepak bola ril menggerakan ekonomi masyarakat, karena tingginya animo masyarakat,” katanya.
Mengembangkan sepak bola tidak hanya bisa dilakukan organisasi yang mengurusinya seperti Askab PSSI dan klub, namun membutuhkan satu kesatuan peran dan dukungan berbagai elemen lain seperti peran pemerintah berbagai level dan pihak swasta seperti kampus.
“Semoga kiranya bisa kerja sama dengan teman-teman prodi PJKR (STKIP) Tamsis, karena kuncinya harus ada kolaborasi antara pemerintah, swasta, stake holder dan para pegiat pencinta sepak bola,” katanya.
Khairuddin menegaskan, dalam berbagai kancah apapun, prestasi sepak bola tidak pernah diraih secara instan oleh pemain maupun klub. Namun ada proses panjang dan perjuangan yang menyertainya. Sebagai contoh, tim Senegal yang menjadi kampium Piala Afrika tahun 2021, mereka memulai perjuangan sejak tahun 2000 yang diawali terbentuknya Academie Generation Foot (Generation Foot). Akademi tersebut diinisiasi oleh Mady Toure, seorang mantan pemain yang belakangan juga didukung oleh FC Metz. Tim senior akademi tersebut tercatat berhasil menjadi juara Premier League. Mereka juga pernah menjadi kampium pada tahun 2017. Mereka mendapatkan hasil setelah 22 tahun berjuang menempa para talenta sepak bola. Puncaknya menjuarai Piala Afrika.