Masukan Ormas kepada Pemerintah Menangani Ekstremisme Kekerasan di Bima

Suasana Desiminasi Hasil Riset Kerja sama PSKP UGM dan STKIP Tamsis Bima di Auditorium Sudirman, Sabtu (6/8/2022).

Bima, Berita11.com— Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bima, TGH Abdur Rahim Haris MA, Pimpinan Daerah Aisyiyah Kabupaten Bima, Dra Nurfarhaty M.Si dan mantan Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bima, Faturrahman S.Ag MH menjadi penanggap desiminasi hasil riset yang digelar Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gajah Mada (UGM) dan STKIP Tamsis Bima.

Apa saja masukan pimpinan Ormas yang menjadi penanggap dalam desiminasi hasil riset memperkuat agensi perempuan dalam mencegah ekstremisme kekerasan tersebut?

Bacaan Lainnya

Ketua MUI Kabupaten Bima, TGH Abdur Rahim Haris MA mengatakan, komitmen berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia telah terpatri dan diteguhkan dalam naskah Sumpah Pemuda sebagaimana yang diletakan founding father Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjujung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

“Ketika Timur-Timur bergabung dengan NKRI, apa kata orang? Indonesia mengurus ribuan pulau saja tidak mampu, tapi mau mencaplok lagi Timur-Timur. Saya membatah pernyataan orang tersebut,” ujar TGH Abdur Rahim saat menjadi penanggap desiminasi hasil riset memperkuat agensi perempuan dalam pencegahan ekstremisme kekerasan yang berlangsung di Auditorium Sudirman STKIP Tamsis Bima, Sabtu (6/8/2022).

Menurutnya, saat ini salah satu musuh utama bangsa Indonesia saat ini upaya membenturkan sesama warga negara melalui konfrontasi antardua kekuatan besar menggunakan pemain pengganti atau penghancuran dari dalam seperti pola Trojan atau proxy war.

“Menciptakan keributan keributan. Perang Brazil itu semua akan sampai ke Indonesia. Kita didesain untuk melakukan proxy war. Ada kelompok salafi dan kelompok lain saling klaim paling benar dan saling bermusuhan terjadi konflik,” ujar tokoh sepuh yang juga Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kabupaten Bima ini.

BACA JUGA: Poso sudah Damai, KH Adnan Arsal: Warga Bima tak Perlu ke sana untuk Perang

Menurutnya, terdapat beberapa perbedaan pandangan atau ideologi kelompok garis keras dengan kelompok toleran. Beberapa pentolan kelompok beraliran keras telah mengakui salah pemahaman dan berikrar setia kepada NKRI.

Dikatakannya, terdapat dua garis besar kelompok salafi, yaitu salafi jihadis dan salafi non-jihadis.

“Mohon untuk hati-hati juga dalam mengkategorikan kelompok-kelompok, mana kelompok toleran dan mana kelompok intoleran. Mohon maaf, di sini juga hadir dari (Badan) Kesbang Kabupaten Bima,” ujarnya.

Dikatakannya, menguatkan agensi perempuan dalam mencegah ekstremisme kekerasan adalah sesuatu yang positif. Kisah keteguhan perempuan juga tergambar saat zaman Rasulullah, wanita yang menerima segala kekurangan pemuda yang melamarnya meskipun ditolak oleh orang tuanya.

Menurut TGH Abdur Rahim Haris, pemerintah harus optimal dalam menangkal terorisme dan radikalisme. Misalnya memaksimalisasi peran organisasi perangkat daerah (OPD) berkaitan seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan.

“Kenapa tidak dimaksimalkan? Saya waktu zaman Presiden Soeharto saya dapat penghargaan atas peran perempuan-perempuan penenun kain. Peran perempuan menggerakan ekonomi,” ujarnya.

Dikatakannya, Hj Sitti Suharni S.Pd istri dari pendiri STKIP Tamsis Bima, almarhum Drs H Sudirman Ismail M.Pd adalah salah satu contoh perempuan inspiratif dan penggerak.

Ketua PD Aisyiyah Kabupaten Bima, Dra Nurfarhati M.Si, mengatakan, secara geopolitik, Bima merupakan benteng Islam di wilayah Timur Indonesia. Pernyataan itu sebagaimana yang diletakan oleh tokoh Muhammadiyah nasional dan juga mantan Ketua MUI Pusat, almarhum Buya Hamka.

“Secara kultural di Penatoi adalah Persis (Persatuan Islam). Nah ini kalau dalam hubungan kultural atau hubungan sehari hari, Muhammadiyah basis NU atau Muhammadiyah basis Muhammadiyah. Kalau Muhammadiyah itu masih ada doa haji, tapi kalau di Penatoi itu nggak ada,” katanya.

BACA JUGA: Bergerak Keluar dari Zona Merah

Menurut perbedaan-perbedaan dalam memaknai ibadah adalah hal biasa dan menjadi tradisi di kelurahan tersebut.

“Kalau kita berbicara membentuk anak, hasil riset itu butuh 14 tahun. Pertama butuh komitmen bersama mau diapakan Penatoi. Butuh komitmen dan konsisten. Mudah-mudahan ada perubahan yang lebih baik, active preventing,” ujar mantan Ketua KPU Kota Bima yang juga akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Mbojo Bima ini.

Penanggap lainnya, mantan Sekretaris FKUB Kabupaten Bima, Fathurrahman S.Ag MH, mengatakan, harus ada terminologi jelas terorisme dan radikalisme dan batasan-batasannya agar tidak membias.

Menurut dia, isu radikalisme dan terorisme rawan dipolitisiasi. Untuk itu, harus memiliki terminologi dan batasan yang jelas dan tidak hanya dilekatkan pada salah satu agama saja.

“Saya sepakat dalam buku ini kita melakukan resolusi konflik. akar masalahnya apa. Misalnya Poso akar masalahnya apa? Bolehlah kita melakukan riset, tapi harus fear,” ujar pria penyuluh Kementerian Agama Kabupaten Bima dan mantan akademisi STIH Muhammadiyah Bima ini.

Kepala PSKP UGM, Dr Muhammad Najib Azca mengatakan, sebagaimana temuan pihaknya, solidaritas menjadi salah satu tolok awal kelompok ekstremisme saling merawat. Solidaritas dibangun melalui relasi personal ketika masyarakat sipil melupakan wanita istri Napiter mereka yang merawat.

“Kata kuncinya kekerasan itu menghalalkan ideologi kekerasan. Terorisme adalah rasa untuk mencapai tujuan politik tertentu, dimensi agama dan ideologi,” katanya.

Ditegaskannya, terorisme dan radikalisme tidak hanya dalam ada dalam satu agama. Namun hampir dalam semua aliran kepercayaan atau agama. Berbagai sorotan keterlibatan umat beragama seperti muslim dapat menjadi autokritik untuk mewujudkan perdamaian dan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI. [B-19]

Pos terkait