Di Desa Bajo, pagi lahir dari debur ombak,
matahari mengintip dari balik Gunung Wawo,
perahu-perahu kecil bersiap di dermaga retak,
dengan harapan yang tertambat pada tali mimpi.
Nelayan bagang menyapa laut dengan jaring dan doa,
lampu-lampu malam semalam masih setia berkedip
di ingatan mereka yang menyatu dengan samudra,
menunggu rejeki yang terangkat dari gelap yang dalam dan sunyi.
Di bawah langit yang luas tak berbatas,
boat-boat tradisional berdetak perlahan,
mengantar wajah-wajah penuh tekad dan cemas
pulang-pergi Bajo – Pelabuhan Bima, setiap harian.
Di atas gelombang, mereka bukan hanya mengantar penumpang,
tapi juga cerita, barang, harapan, dan kabar,
anak-anak sekolah, pedagang, hingga ikan segar,
semua dibalut semangat yang tak pernah hilang.
Tak jauh dari sana, Pulau Kambing terbaring diam,
seperti penjaga sunyi di tengah Teluk Bima,
di balik karangnya, laut menyimpan dalam-dalam
jejak perjuangan dan cinta pada desa tercinta.
Warga Bajo bukan sekadar penakluk gelombang,
mereka pembaca langit, peramu ombak, penjaga adat,
hidup bersahaja dalam putaran siang dan petang,
dengan laut sebagai nadi, dan perahu sebagai sahabat.
Di sana, di Barat Soromandi yang teduh,
terlukis kehidupan sederhana tapi penuh arah,
di mana setiap perjalanan ke Bima pergi-pulang
adalah nyanyian ketekunan yang tak pernah lelah.
Pantura, 22 Mei 2025