Bima, Berita11.com— Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima optimistis kasus stunting turun hingga satu digit pada tahun 2024 mendatang. Angka stunting di Kabupaten Bima berdasarkan Elektronik-Pencacatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM) terus mengalami penurunan, tahun 2023 hasilnya 13,8 % atau dua digit.
Persentase tersebut bahkan melampui angka stunting berdasarkan E-PPGBM yang dicatat Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, input 97,87 persen dengan hasil 14,76 %.
Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Sekretariat Daerah Kabupaten Bima, Suryadin menyebut, mengacu data Dinas Kesehatan Kabupaten Bima tahun 2023, prevalensi stunting turun sebesar 4, 4% atas intervensi pemerintah daerah pada tahun 2022.
“Di tahun 2024 kita optimis angka di atas 1 persen bisa dicapai melalui intervensi penurunan stunting secara terintegrasi,” kata Suryadin menjawab Berita11.com melalui media sosial whatshapp, Selasa (19/9/2023) lalu.
Menurut Suryadin, menurunkan prevalensi stunting menjadi salah satu target Pemkab Bima melalui sejumlah intervensi dan strategi, di antaranya dengan memasukan prioritas penanganan stunting dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan APBD yang dibahas melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Kabupaten Bima serta melalui Musrembang khusus kelompok inklusif yang meliputi perempuan, anak, lanjut usia dan berkebutuhan khusus.
Untuk menurunkan prevalensi stunting turun hingga satu digit, Pemkab Bima menetapkan sejumlah strategi melalui intervensi spesifik, baik melalui pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil dan remaja, promosi dan konseling pemberian suplemen gizi, emantauan dan promosi pertumbuhan, pemeriksaan kesehatan ibu hamil serta manajemen terpadu balita sakit.
“Di samping itu dilakukan juga intervensi sensitif melalui penyediaan air bersih dan sanitasi, bantuan PKH, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Bina Keluarga Balita (BKB) kawasan rumah Lestari,” kata Suryadin.
Menurutnya, sejumlah intervensi tersebut akan bermuara meningkatkan cakupan konsumsi gizi, pola asuh anak, pelayanan kesehatan, dan kesehatan lingkungan sehingga berdampak menurunya angka stunting.
Pada bagian lain, Dinas Kesehatan Kabupaten Bima juga optimistis pada tahun 2024 dan tahun 2025 prevalensi kasus stunting di Kabupaten Bima turun menjadi satu digit atau berada pada angka 9 %, turun dari angka 13,8 %.
Menurut Suryadin, angka tersebut dapat dicapai melalui metodologi EPPGBM jika semua intervensi berjalan baik.
Merujuk Dinas Kesehatan Kabupaten Bima, angka stunting di Kabupaten Bima berdasarkan Elektronik-Pencacatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM) terus menurun setiap tahun. Semula pada tahun tahun 2020 mencapai 22,49%, tahun 2021 (18,2 %), tahun 2022 (13,8 persen).
Sementara itu berdasarkan pencatatan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Kabupaten Bima tiga tahun terakhir juga menunjukan tren menurun setiap tahun. Pada tahun 2020 sebesar 33,56 %, tahun 2021 (30,4 %), dan tahun 2022 (29,5) persen.
Untuk diketahui, Elektronik-Pencacatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM) dan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menggunakan metologi dan model yang berbeda, ditinjau dari sampel. Pada model SSGI kegiatan survei sasaran yang diukur hanya mengambil sampel 1-2% dari total populasi, sedangkan EPPGBM mengukur semua populasi, yaitu balita yang ada di seluruh wilayah.
Selain itu, pada model SSGI kegiatan survei menggunakan enumerator terpilih dan terlatih khusus, sedangkan E-PPGBM menggunakan petugas Posyandu dan kader. Faktor lain juga dilihat dari alat pemantauan. Metode SSGI dengan survei menggunakan alat terstandar dan terkalibrasi secara berkala, sedangkan E-PPGBM menggunakan alat yang ada di Puskesmas yang tidak semuanya terstandar. Pembiayaan survey SSGI menggunakan anggaran khusus dari Kementerian Kesehatan, sedangkan E-PPGBM dengan anggaran rutin yang ada di daerah.
Sementara itu, merujuk laporan anak EPPGBM, Sigizi Terpadu Kemenkes RI, data status gizi balita berdasarkan indeks berat badan dibagi umur, tinggi badan dibagi umur, dan berat badan dibagi tinggi badan, menurut kecamatan dan pencatatan pada 21 Puskesmas di Kabupaten Bima pada tahun 2022, dari 43.237 balita yang ditimbang, diketahui 4.625 balita atau 10,7 persen balita memiliki berat berat badan kurang, sedangkan dari 43.237 balita yang diukur tinggi badannya pada 18 kecamatan yang tersebar di 21 puskesmas di Kabupaten Bima, diketahui balita pendek sebanyak 6.003 atau 13,88 persen.
Adapun hasil pengukuran terhadap 43.237 balita pada 18 kecamatan yang tersebar di 21 puskesmas di Kabupaten Bima, diketahui 2.821 balita termasuk kategori gizi kurang dan 640 termasuk kategori gizi buruk.
Secara historical, prevalensi stunting di Kabupaten Bima pada tahun 2020-2021 berdasarkan EPPGBM, dari 18 kecamatan yang tersebar pada 21 Puskesmas di Kabupaten Bima, kasus stuting di Kabuapten Bima sebagaimana pencatatan 31 Oktober 2020 tercatat sebanyak 8.431 atau 22,51 persen. Sebaran kasus stunting tertinggi di Kabupaten Bima pada tahun tersebut di Kecamatan Bolo 1.454 kasus (43,86%) disusul Kecamatan Woha 1.149 kasus (28,06), kemudian Kecamatan Lambu 697 kasus (25,39 %).
Pada tahun 2021, kasus stunting di Kabupaten Bima berdasarkan EPPGBM pada 18 kecamatan yang tersebar pada 21 Puskesmas turun menjadi 7.553 kasus atau 18,20 persen sebagaimana pencatatan pada 31 Oktober. Sebaran kasus stunting terbanyak di Kecamatan Sape sebanyak 1.472 (25,19 %), disusul Kecamatan Woha 820 kasus stunting (20,51 %) serta di Kecamatan Madapangga 723 kasus stunting (34,64 %).
BKKBN Sorot Kasus Stunting di NTB Masuk 6 Besar Nasional
Sebelumnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyorot kasus stunting tahun 2022 di Provinsi NTB yang masuk 6 besar nasional bersama sejumlah daerah lain, di antaranya Sulawesi Barat, Papua, Papua Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Timur.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menjelaskan data itu berdasarkan survei yang konsensusnya belum tentu merata. Namun demikian dia optimistis Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB bisa menurunkan angka stunting tahun 2023 ini.
Hasto juga mengapresisasi 16 Organisasi Perangkat Daerah di NTB mampu mengumpulkan 267 ribu telur yang kemudian dibagi ke masyarakat pada tahun 2023.
"Kami harap setelah melihat data ini tidak perlu berkecil hati. Saya salut dengan 16 OPD di NTB itu mampu mengumpulkan 267 ribu telur dibagi ke masyarakat tahun ini," kata Hasto saat menghadiri Forum Koordinasi Stunting dan Fasilitas Koordinasi Satgas Percepatan Penurunan Stunting di Mataram, Kamis (10/8/2023) lalu.
Hasto juga menyoroti data perempuan melahirkan di NTB yang melebihi angka nasional. Menurutnya, rata-rata perempuan di NTB melahirkan dua hingga empat anak.
"Sebenarnya tiga anak itu boleh. Tapi, harus diatur jarak melahirkannya. Karena itu meningkatkan angka stunting," kata Hasto.
Dia membeberkan angka kasus kematian ibu melahirkan di NTB pada 2022 berada pada urutan empat nasional. Sementara angka kematian ibu melahirkan secara nasional 189 per 100 ribu, sedangkan di NTB 200 kematian per 100 ribu.
Sementara itu angka kematian bayi di NTB pada 2022 berada di angka 20 per 100 ribu. Padahal, angka kematian bayi secara nasional berada pada angka 16 per 100 ribu.
Pada sisi lain Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah sebelumnya mengeklaim penanganan kasus stunting di NTB pada 2022 hingga 2023 sudah mencapai angka 16,46 persen. Selain itu, dia berharap angka stunting turun hingga angka 14 persen.
Pemprov NTB sendiri menyebut angka stunting di NTB berdasarkan Elektronik-Pencacatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (E-PPGBM) terus mengalami penurunan, tahun 2019 hasilnya 25,5% input baru 70,5% kemudian 2020 23,3% untuk inputnya 82,7%. Mulai 2021 setelah 100% posyandu keluarga terbentuk di NTB inputnya sudah 98,54% dan hasilnya 19,2%. Tahun 2022 menjadi 16,8% dan 2023 report terakhir pada Februari 2023 dengan input 97,87% hasilnya 14,76%.
Laporan: Idil Safitri, Fachrunnas
Follow informasi Berita11.com di Google News