Bima, Berita11.com— Konflik Poso, Sulawesi Tengah yang terjadi puluhan tahun lalu diawali persoalan sepele antarkelompok, kemudian meluas menjadi konflik antaragama. Ada banyak air mata, tetesan darah hingga gelimpangan mayat dari dua pihak yang bertikai dan hingga kini masih meninggalkan jejak-jejak kelam penyesalan.
Tak pelak, daerah tersebut melekat dengan label daerah yang identic dengan kekerasan atau zona merah. Saat konflik agama terjadi, sebagian warga Bima juga terlibat dalam pusaran itu dengan mengangkat senjata. Namun kondisi itu telah berubah drastis seiring rekonsiliasi yang dibangun sejumlah tokoh di sana dan upaya pemerintah yang ditegaskan dalam Deklarasi Malino. Poso yang dulu punya wajah kelam kekerasan, kini berubah menjadi kota yang damai dan asri. Hanya tersisa sebagian kecil anggota kelompok yang mendompleng agama di Gunung Biru Poso.
Gambaran tersebut disampaikan Panglima Damai Poso, KH Muhammad Adnan Arsal saat bedah buku berjudul Muhammad Adnan Arsnal Panglima Damai Poso yang ditulis Khoirul Anam saat bedah buku tersebut di Pondok Pesantren Al Madinah di Jalan Lintas Soromandi, Desa Kananga Kecamatan Bolo Kabupaten Bima, Sabtu (18/9/2021).
“Berbicara mengenai Poso, di sana ada tetesan air mata, darah, gelimpangan mayat. Air mata siapa? tetes darah siapa dan gelimpangan mayat siapa? Tetes air mata, tetes darah dan gelimpangan mayat orang Islam dan orang Kristiani,” ujar mantan Panglima Mujahid Muslim ini.
Dikatakan pimpinan Surya Nahdhalatul Ulama Poso ini, akibat konflik komunal di Poso, ada banyak kerusakan yang ditimbulkan seperti perkampungan yang dibakar, mayat bergelimpangan dan dibuang di sungai. Anak kelaparan dan kehilangan sanak keluarga. Pada awalnya saling balas dendam antardua pihak bertikai. Padahal penyebab awal konflik hanya persoalan sepele, bermula dari kegiatan kelompok pemuda yang pesta minuman keras (alkohol).
“Apa maunya orang Kristen, apa maunya orang Islam harus diselesaikan lewat dialog, sehinga diselesaikan di Malino, tempat penyelesaian tentara dan orang Belanda. Disepakati deklarasi orang Poso, Deklarasi Malino,” ujar mantan ketua Forum Silaturahmi Umat Islam Poso ini
Bercermin dari dampak konflik Poso, Arsal mengajak seluruh warga Bima agar menjauhi konflik dan tak perlu ke Poso, apalagi untuk mengangkat senjata dan mengatasnamakan jihad. Sebab sudah tak ada konflik di Bumi Sintuwu Maroso, terutama konflik antaragama.
“Saya mengajak jangan lagi perang kita wariskan kepada anak-anak keturunan kita. Untuk yang masih di Gunung Biru, tolong orang Bima di sana (sisa MIT). Ustadz Bunyamin tolong bisikan, (untuk) turun selesaikan,” harap Arsnal.
Melalui buku yang diproduksi Gramedia dan ditulis penulis muda Khoirul Anam, KH Muhammad Adnan Arsal ingin melunturkan pandangan negatif tentang Poso melalui buku, sehingga dirinya meminta secara khusus kepadap penulis untuk mengawali bedah buku di Bima, karena banyak warga (santri-santriwati) dari tanah Nggahi Rawi Pahu yang berangkat ke Poso untuk mengangkat senjata dan mewarnai konflik di sana.
Dalam sambutannya, panitia bedah buku yang juga pimpinan Ponpes Al Madinah, Ustadz Bunyamin menyampaikan apresiasi atas kehadiran Forkopimda Kabupaten Bima dan Kota Bima
“Konflik Poso tidak terlepas dari mujahid-mujahid, termasuk mujahid dari Bima, sampai sekarang masih ada yang bertahan di Bumi Biru, konflik yang di Poso tidak terlepas dari santri-santri kami di Ponpes Al Madinah, termasuk Umi Delima yang nama aslinya Jumiatun, ada juga namanya Qatar yang nama aslinya Busran, yang merupakan anak angkat Ustadz. Jabir,” ungkap Bunyamin.
Namun apa yang terjadi bukan kehendak pihaknya, seperti alumni Ponpes setempat yang berangkat ke Poso.
“Ustadz Jabir, beliau juga punya komitmen menjadikan daerah Bima aman dan damai, menjauhkan dari konflik internal dan eksternal, tentunya dalam bingkai NKRI,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Bima, H Dahlan M Nur yang menjadi keynote speaker dalam peluncuran buku berharap tidak ada lagi anak-anak Bima yang berangkat ke Poso, khususnya untuk mengangkat senjata atau menjadi pemicu konflik.
“Bima ini tidak jauh dari Poso. Kalau konflik Poso konflik komunal, kalau di Bima konflik antarkampung, kami dihadapkan perang antarkampung yakni di Kecamatan Woha, kami menangani bersama Kapolres hingga selesai. Tapi konflik kecil masih terjadi. Untuk itu kami mengharapkan atas nama pemerintah, kita harus merenungkan apa yang baik,” ujarnya.
Wabup Bima juga menyampaikan keresahannya masih adanya warga Bima di Poso yang mengangkat senjata. Apalagi yang diketahuinya masih ada yang berasal dari Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima, tempat dia semasa kecil. Untuk itu, atas nama Pemkab Bima, pihaknya meminta segera ditangani.
“Bima ini tidak sebaik dan tidak juga seburuk daerah lain, ada di tengah-tengah. Kalau tidak ditangani secara baik, maka akan terjadi konflik komunal walaupun di sini agama lain minoritas. Harus menjadi motivasi untuk kita semua. Saya kira Haji Muhammad Adnan Arsal akan berjuang sepanjang hayat,” ujarnya.
Ketua Partai Gerindra Kabupaten Bima ini juga memuji cara penyajian dan teknik penulisan buku oleh Khoirul Anam yang sistematis mengikuti kaidah penulisan yang baik dan benar. Karena sesuai pengalamannya saat menempuh S2, menulis sendiri buku adalah hal yang tidak mudah. Butuh konsentrasi tinggi untuk merekam sebuah peristiwa dalam sebuah tulisan yang terstruktur dengan baik.
“Saya punya pengalaman saat S2, menulis tidak bisa diganggu. Saya menulis saat itu untuk menjawab tantangan orang. Mulai saat itu saya terinspirasi untuk menulis, ternyata dibutuhkan kiat-kiat khusus, istri pun tidak bisa mengganggu,” ujarnya. [B-11/B-12]