Akhir Hidup Dipa Nusantara Aidit, yang Disebut-sebut Dalang G30S PKI

DN Aidit. Ist.
DN Aidit. Ist.

Berita11.com— Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit sangat kental dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain karena DN Aidit adalah salah satu pentolan di PKI, ia pun identik dengan peristiwa Gerakan 30 September atau G30S PKI.

Dalam beberapa keterangan, DN Aidit disebut-sebut dalang dari peristiwa berdarah G30S PKI itu. Kisah hidup DN Aidit menyisakan sejumlah kisah yang kontroversial. Sebagian menyebut bahwa DN Aidit bersama PKI lah biang kerok kerusuhan G30S. Namun tak sedikit juga yang menyebut bahwa PKI hanyalah kambing hitam di peristiwa G30S PKI itu.

Bacaan Lainnya

Selain memimpin PKI, DN Aidit juga merupakan orang yang sangat dekat dengan Presiden Soekarno. Dia pernah menjabat Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS. Masuknya PKI ke pusaran politik nasional membuat cita-cita revolusi menuju masyarakat komunis tak lagi menjadi agenda utama.

Peter Kasenda dalam Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI (2016) menulis, Aidit memimpin badan rahasia dalam PKI dengan nama Biro Chusus (BC) PKI. Badan ini dirancang sebagai intelijen yang menghimpun informasi dari para perwira militer simpatisan PKI.

Pada zamannya, setiap partai dan kelompok politik mempunya jaringan serupa dalam militer. Informasi dari BC PKI penting untuk menentukan apakah PKI akan bertindak sebelum kudeta terjadi atau menunggu.

Berdasarkan rapat dengan para perwira militer, Kepala BC PKI Syam Kamaruzaman menyimpulkan pihak militer siap melancarkan langkah untuk mencegah kudeta terjadi.

PKI mengira pihaknya hanya membantu tentara. Sebaliknya, tentara mengira mereka hanya mengikuti PKI.

Rivalitas antara PKI dan TNI AD mencapai puncaknya tahun 1965. Gerakan 30 September hanya bertahan hitungan jam. Dalam waktu singkat pasukan Mayjen Soeharto menghancurkan mereka.

Para pimpinan G30S kocar-kacir menyelamatkan diri. Letkol Untung lari ke arah Tegal, Sjam Kamaruzaman pergi ke Bandung, sedangkan Aidit naik pesawat dan terbang ke Yogyakarta.

Dia tiba di Yogyakarta 2 Oktober 1965 dini hari. Aidit sempat menemui sejumlah tokoh PKI di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Ia berusaha mengkonsolidasikan agar PKI bisa dilepaskan dari insiden penembakan jenderal-jenderal yang dilaksanakan oleh tentara sendiri. Dari Semarang, dia ke Boyolali dan Solo. Di sana, DN Aidit dikecam atas apa yang terjadi di Jakarta. DN Aidit terus bergerak untuk konsolidasi.

Hingga pada 6 Oktober di Blitar, DN Aidit menulis surat ke Soekarno yang menyampaikan versinya soal G30S. Dia mengaku dijemput seorang berpakaian Cakrabirawa dari rumah untuk menghadiri rapat kabinet di Istana. Namun ia malah dibawa ke tempat lain.

Adapun DN Aidit mengaku sempat bertanya apakah penangkapan para jenderal sudah diketahui Presiden Soekarno. Kepada DN Aidit, mereka menjawab, Soekarno telah memberikan restunya untuk menindak para jenderal.

DN Aidit menyadari Angkatan Darat di bawah Pangkostrad Mayjen Soeharto tengah memburu para tokoh PKI yang dianggap sebagai dalang pembunuhan para jenderal. Selain itu, DN Aidit tak juga kembali ke Jakarta dan berusaha meredam aksi kekerasan militer terhadap simpatisan PKI di Jawa Timur.

Pada suratnya yang terakhir tertanggal 10 November, DN Aidit mengatakan kemungkinan akan mencari perlindungan ke China.

Angkatan Darat terus memburu keberadaan Aidit. Pimpinan PKI ini pun terus berpindah persembunyian. Pasukan Brigif IV Diponegoro akhirnya menemukan Aidit bersembunyi dalam sebuah rumah milik A Kasim di Desa, Sambeng, Solo.

DN Aidit terus bersembunyi di rumah teman-temannya. Ia akhirnya tertangkap dan dibawa ke Boyolali pada 22 November.

Aidit saat itu bersembunyi dalam sebuah ruangan yang ditutupi lemari.Sepintas tak akan ada orang yang menyangka jika di balik lemari ada ruangan yang cukup ukurannya untuk bersembunyi.

BACA JUGA: Rayakan NAIDOC 2022, Kedubes Australia Undang Penduduk Asli Terkemuka

Aidit langsung ditangkap dan diinterograsi. Menurut Soeharto dalam biografinya, Pasukan Brigif IV Kolonel Yasir Hadibroto berhasil menangkap Aidit.

Saat diproses verbal, DN Aidit mengaku bertanggung jawab. “Saya adalah satu-satunya orang yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S yang gagal dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI yang lain,dan organisasi massa di bawah PKI,” kata DN Aidit dalam surat pemeriksaan yang ditandatanganinya.

Aidit ditembak mati saat hendak melarikan diri. Demikian laporan yang diterima Panglima Kostrad itu menurut pengakuannya.

Ada versi lain yang menceritakan akhir hidup aidit. Dalam seri Buku Tempo Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara, disebutkan setelah ditangkap, Aidit terus meminta dipertemukan dengan Presiden.

Permintaan itu tidak dikabulkan oleh Kolonel Yasir Hadibroto. Dia khawatir Aidit akan memutarbalikan cerita soal G 30 September di depan Presiden Soekarno.Aidit malah berpidato dengan berapi-api. Hal ini membuat Yasir dan anak buahnya kesal.

Dor, dor, dor. Senapan AK-47 menyalak, menembus tubuh Aidit. Dia tewas di tempat itu. Jenazahnya dimasukan ke dalam sumur.

Malam itu terasa sangat mencekam. Khususnya, bagi para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dikejar para prajurit TNI AD. Tepatnya, usai malam mencekam 30 September 1965.

Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto adalah sosok yang memerintahkan pengejaran dan penangkapan Ketua CC PKI.

Dia tersenyum ketika mendengar laporan anak buahnya, bahwa Aidit sudah ‘dibereskan’.

Perintah Pangkostrad

Kolonel Yasir Hadibroto memboyong pasukannya ke Solo. Di kota tersebut dia menemui Sriharto. Seorang intelijen yang berhasil menyusup sebagai orang kepercayaan dalam tubuh PKI

Hanya dalam beberapa hari, Sriharto melaporkan keberadaan Aidit yang berada di rumah di Desa Sambeng. Tepatnya di belakang Stasiun Balapan.

Rencana penangkapan disusun. Sekitar pukul sebelas siang, Aidit muncul dari rumah tersebut. Dia menumpang vespa Sriharto. Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brifif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu

Salah seorang wartawan yang bekerja di Solo, yakni Alwi Shahab menulis di harian Republika. Saat digerebek, Aidit bersembunyi di dalam lemari.

Pada malam itu, Yasir menginterogasi Aidit. Lalu Aidit membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya, Aidit yang bertanggung jawab atas peristiwa G30S.

Namun menurut Yasir, dokumen itu dibakar Pangdam Diponegoro. Anehnya, Risuke Hayasi yang merupakan koresponden Asahi Evening News, berhasil mendapatkan dokumen tersebut.

Aidit Minta Bertemu Bung Karno. Menjelang dini hari, Yasir kebingungan. Lantaran Aidit berkali-kali meminta untuk dipertemukan dengan Presiden Sukarno.

Yasir menolak permintaan itu. Karena jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya jadi lain.

Akhirnya, pada pagi buta tanggal 23 November 1965, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo. Mereka menggunakan tiga buah Jeep. Aidit yang diborgol berada di Jeep terakhir bersama Yasir.

Tanpa sepengetahuan dua Jeep yang ada di depannya, Yasir membawa Jeep yang berisi Aidit belok masuk ke Markas Batalyon 444. Yasir bertanya kepada Mayor Trisno. “Ada sumur?” tanya Kolonel Yasir.

Yasir membawa Aidit ke tepi sumur. Dia mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir.

Namun Aidit malah berapi-api dan berpidato. Hal ini membuat Yasir dan anak buahnya marah. Dor! dengan dada berlubang Aidit terjungkal masuk sumur.

Keesokan harinya, 24 November 1965, pukul 3 sore. Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel memberanikan diri bertanya.

“Apakah yang Bapak maksud dengan bereskan itu seperti sekarang ini, Pak?” Tanya Yasir. Soeharto pun tersenyum.

Mengutip Wikipedia, Dipa Nusantara Aidit (30 Juli 1923 – 22 November 1965) adalah seorang pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahir dengan nama Achmad Aidit di Pulau Belitung, ia akrab dipanggil “Amat” oleh orang-orang yang akrab dengannya. Aidit mendapat pendidikan dalam sistem kolonial Belanda.

BACA JUGA: Mi6 dan Publik Institut NTB Khawatir, Seni Budaya Sasak Masuki Fase Punah

Kehidupan awal

Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil “Amat” oleh orang-orang yang akrab dengannya. Ia merupakan anak Abdullah Aidit, yang pernah memimpin gerakan pemuda di Belitung melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, “Nurul Islam”, yang berorientasi kepada Muhammadiyah.

Adapun ibu DN Aidit bernama Mailan. Sang ibu berasal dari keluarga ningrat Belitung, putri dari Ki Agus Haji Abdul Rachman dan Nyayu Aminah. Ki Agus dikenal sebagai peneroka kampung Batu Itam sekaligus tuan atas tanah yang dibukanya. Asal-usul Aminah masih belum jelas, tetapi sumber sekunder menyebut leluhur ibu Aidit datang dari Nagari Maninjau, Sumatera Barat.

Aidit merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Sang ayah meninggal selagi Aidit masih kecil sehingga ia dibesarkan oleh ayah tiri. Aidit memiliki dua saudara tiri, yaitu Asahan dan Sobron.

Setelah menamatkan pelajaran HIS di Bangka, ia bertolak ke Jawa. Ia dititipkan oleh sang ibu pada orang sekampungnya, Maninjau, yang telah lama merantau dan menetap di Bandung, yakni Isa Anshari. Selama hampir empat tahun, Aidit tinggal bersama keluarga Isa Anshari sehingga mereka sudah layaknya adik-kakak. Hubungan pribadi Aidit dan Isa tetap terpelihara sampai kelak mereka menjadi lawan politik. Mereka masih rutin bertemu, bahkan Aidit pernah membawakan buku tentang komunisme untuk putra sulung Isa Anshary, Endang Saifuddin Anshari.

Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.

Karir Politik

Pada 1940, ia mendirikan perpustakaan “Antara” di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Setelah itu, Aidit dan teman seindekosnya yang bernama Mochtar mengusahakan sebuah penjahitan yang juga diberi nama “Antara”. Lokasinya yang strategis menjadikannya tempat mangkal aktivis pada masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Di sini, berkumpul pula para seniman yang terkenal dengan nama seniman Senen. Sebagian besar terdiri atas para pendatang dari Minangkabau yang banyak berjualan dan membuka restoran.

Kemudian Aidit masuk ke Sekolah Dagang (“Handelsschool”). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia. Menurut sejumlah temannya, Mohammad Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Aidit menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.

Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan. Sebagai balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.

Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.

ollow informasi Berita11.com di Google News

Pos terkait