Bima, Berita11.com— Setelah melalui upaya panjang untuk memulangkannya, jenazah Pekerja Migran Indonesia asal Tanah Putih, Kecamatan Sape Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Fatimah (47 tahun) yang meninggal dunia di Ruhama KBRI Riyadh, sekira pukul 09.00 waktu Riyadh, Minggu, 19 Februari 2023 lalu, direncanakan akan dimakamkan di kota tersebut pada Jumat (3/3/2023).
Pemakaman jenazah buruh migran di Negara tempatnya bekerja karena Negara tidak memiliki biaya untuk memulangkan. Masalah utamanya PMI itu berangkat saat pemerintah menutup (moratorium) pengiriman buruh migran ke Arab Saudi.
Kendala upaya memulangkan jenazah PMI asal Kabupaten Bima tersebut diungkapkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional, Angkatan Muda Bima Indonesia (DPN AMBI), Yusri Al Bima.
Pada awalnya, ungkap dia, DPN AMBI Bima langsung meminta bantuan anggota DPR Republik Indonesia dari daerah pemilihan Pulau Sumbawa, H Muhammad Syaruddin agar berkomunikasi langsung dengan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi untuk membantu upaya memulangkan Fatimah ke Bima jika sudah sembuh dari sakit. Namun kesehatan PMI tersebut semakin memburuk hingga meninggal dunia.
“Kita potong kompas melalui jalinan komunikasi Bang Rudy Mbojo PAN (H Muhammad Syafruddin) dengan Dubes. Hanya saja memang karena (kondisinya) meninggal dan Negara tidak punya dana untuk pemulangan jenazah, maka disarankan izin keluarga agar dimakamkan di sana,” ujar Yusril kepada Berita11.com melalui layanan media sosial Whatshapp, Kamis (2/3/2023).
Dijelaskan Yusri, DPN AMBI sengaja meminta bantuan anggota DPR RI asal Bima, H Muhammad Syafruddin agar berkomunikasi langsung dengan Dubes Republik Indonesia di Riyadh sehinnga proses memulangkan Fatimah lebih cepat. Terlebih setelah diketahui PMI tersebut berangkat melalui jalur nonprosedural dan tinggal di Arab Saudi melebihi batas waktu (overstayer).
“Alhamdulilah jawaban duta besar menjanjinkan setelah sembuh akan dipulangkan, setelah sehat akan dipulangkan dan dibiayai oleh Negara, namun takdir rupanya kita dapat berita Fatimah meninggal dunia. Kita konfirmasi ke duta besar, lalu mendapat jawaban dari duta besar, kita mintakan surat resminya dan sudah dikirim juga,” ujarnya.
Menurut dia, penanganan akan berbeda jika seandainya Fatimah berangkat sesuai ketentuan atau melalui jalur prosedural. Pemerintah bisa meminta tanggung jawab Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Karena biaya pemulangan jenazah dari Negara lain tidak sedikit.
“Akan berbeda jika penempatan resmi, dibuka resmi di Riyadh, maka ada pihak-pihak yang bisa dikejar, pihak P3MI atau PJTKI bisa dikejar (dimintai) tanggung jawabnya memulangkan jenazah. Tapi berhubung Fatimah berangkat di masa pelarangan, kerja ke Arab dan statusnya overstayer, maka (Negara) tidak menyediakan anggaran untuk itu dan kita maklumi,” ujarnya.
Selain itu, proses memulangkan jenazah melalui jalur prosedural juga membutuhkan waktu lama, karena harus melewati proses dan koordinasi berjenjang dari KBRI ke Kementerian Luar Negeri dan dilanjutkan Kementerian Tenaga Kerja dan Badan Perlindungan Pekerjaan Migran Indonesia (BP2MI), Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran (BP3MI) hingga Dinas Tenaga Kerja di daerah.
“Saya sarankan terbaik kepada keluarga dan alhamdulillah sudah ada surat pernyataan keluarga mengikhlaskan dimakamkan di sana. Cuma yang saya garis bawahi pada keluarga, harus memburu dan melaporkan pelaku penempatan, siapapun dia akan mendapatkan pertanggung jawaban,” katanya.
Diisyaratkannya, DPN AMBI akan membantu pihak keluarga almarhumah untuk mendapatkan asuransi kematian minimal Rp85 juta dan uang kerohiman.
“Kalau sudah dapat itu Ok, artinya penyelesaian secara kekeluargaan. Tapi kalau, proses hukum harus ditegakan dan ancamannya berat menemmpatkan orang tidak memenuhi syarat dan lain-lain sesuai Undsang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 ancamannya bisa 15 tahun penjara dengan ganti rugi Rp15 miliar, kalau ktia bicara pidana. Tapi kan proses hukum Indonesia, tidak ujub-ujub seperti yang tertulis,” ujar Yusri.
Selain itu, DPN AMBI juga membantu menfasilitasi keluarga almarhumah membuat laporan.
“Sehingga saya minta keluarga melalui Papi Jimi dan AMBI agar fokus pada pelaporan. Saya juga minta kepada Disnaker Dae Arif (pejabat Penta Disnaker Kabupaten Bima) untuk buatkan surat permohonan dua hal. Terpnting hak milik almarhumah berupa uang dan emas dikirimkan ke Indonesia untuk diserahkan kepada keluarga melalui Kemlu,” ujarnya.
Dikatakan dia, surat permohonan berkas-berkas terkait kematian dan pemakaman mesti diterima oleh keluarga, baik berbahasa Arab maupun berbasa Indonesia dari KBRI Riyadh. “Itu penting kalau proses hukum berjalan, menjadi dokumen penguat untuk mendapatkan segala hal, termasuk dalam pengurusan asuransi pun yang resmi harus dapat berkas. Karena ini illegal (nonprosedural) hanya memperkuat tuntutan,” ujarnya.
Diketahui sebelumnya, PMI asal Kecamatan Sape Kabupaten Bima, Fatimah (47 tahun) meninggal dunia di Ruhama KBRI Riyadh, sekira pukul 09.00 Waktu Riyadh, Minggu (19/2/2023).
Almarhumah Fatimah merupakan PMI asal Kabupaten Bima dari jalur nonprosedural yang bekerja di Arab Saudi dan diperkirakan berangkat sekira tahun 2015 lalu saat pemerintah memberlakukan moratorium penempatan tenaga kerja di Negara itu.
Setelah menerima informasi PMI asal Bima meninggal dunia, DPN AMBI menyampaikan informasi kendala pemulangan jenazah PMI tersebut kepada anggota DPR RI asal Dapil Pulau Sumbawa, H Muhammad Syafruddin (HMS) yang kemudian langsung direspon.
Hasil koordinasi HMS dengan Duta Besar Indonesia di Riyadh, Abdul Aziz Ahmad, yang kemudian diteruskan kepada Angkatan Muda Bima Indonesia, diketahui Fatimah masuk ke Ruhama KBRI Riyadh setelah diantar oleh aktivis PMI. Sebelum itu ia dirawat di Rumah Sakit King Abdul Aziz Arab Saudi.
Kepada aktivis PMI, Fatimah mengaku tidak memiliki tempat tinggal, sehingga meminta agar diterima di shelter KBRI. Saat masuk Ruhama KBRI kondisinya lemah dan sakit.
Sebagaimana penjelasan Dubes RI di Riyadh yang dikutip HMS, Fatimah diketahui didatangkan oleh Syarikah Maharah, agen PMI di Riyadh menggunakan visa sebagai petugas kebersihan (cleaning service). Namun kemudian dipekerjakan sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Selama satu tahun dia lancar menerima gaji. Namun di tengah jalan dia tidak tahan dengan majikannya yang mempekerjakan secara illegal karena sering memarahi, sehingga kabur setelah bekerja selama dua tahun lima bulan.
Saat kondisi sakit, Fatimah kemudian dibawa ke Rumah Sakit King Abdul Aziz oleh majikan ilegalnya. Dia diturunkan begitu saja di rumah sakit, kemudian ditolong oleh perawat dan dokter. Setelah sempat dirawat di rumah sakit, dia kemudian meminta bantuan aktivis PMI, kemudian dibawa pulang ke rumah aktivis sebelum kemudian diantar ke Ruhama KBRI Riyadh.
Fatimah juga diketahui tinggal di Arab Saudi melebihi batas waktu dokumen (overstayer). [B-22]