Suhu Panas Walau Musim Hujan, Pemerhati Lingkungan Usulkan Pemda Wujudkan Gerakan Green Village

Kondisi Hutan Bima yang Tandus Akibat Perluasan Areal Tanam Jagung hingga di Atas Elevasi 30 Derajat.
Kondisi Hutan Bima yang Tandus Akibat Perluasan Areal Tanam Jagung hingga di Atas Elevasi 30 Derajat.

Bima, Berita11.com—Sepanjang mata memandang, landscape sejumlah gunung dan bukit di wilayah Bima- Dompu tampak botak. Bahkan hingga di atas kemiringan 45 derajat. Urusan perut seolah menjadi legitimasi untuk membabat pohon, mengabaikan kenyamanan banyak orang. Regulasi dan imbauan pemerintah pun seolah menjadi rem ompong tanpa kanvas di musim penghujan.

Pemerhati lingkungan di Bima-Dompu, Zulharman M.Ling menyarankan pemerintah daerah agar membuat gerakan desa hijau (green village) di seluruh desa di Bima-Dompu. Sebab, sudah banyak gunung yang tandus sehingga meningkatkan suhu udara panas.

Bacaan Lainnya

Menurutnya, gerakan green village diharapkan dapat mengurangi kondisi panas pada masa mendatang. “Green village ini dimulai dari hal-hal kecil, penanganan sampah di desa, lingkungan hijau dan asri tingkat RT atau dusun. Green village ini harus di dorong secara penuh oleh pemerintah daerah,” ujar mantan akademisi Universitas Muhammadiyah Malang yang juga mantan aktivis lingkungan Greenpeace ini melalui layanan media sosial whatshapp, Rabu (3/1/2023).

BACA JUGA: Respon Potensi Cuaca Ekstrem, Pemkot Bima Siapkan Antisipasi dan Reboisasi 2.000 Hektar

Menurut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian untuk Masyarakat, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Kependidikan Taman Siswa Bima ini, Dinas Lingkungan Hidup harus menjadi motor untuk mewujudkan Gerakan green village, bila perlu membangun kolaborasi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa agar seluruh desa memprogram secara nyata program tersebut di seluruh desa. “Harus ada keinginan yang kuat dari pemerintah,” ujar Zulharman.

Dia menjelaskan, suhu panas yang terjadi akhir-akhir ini khususnya di Bima, secara teori ini bisa terjadi karena adaya dinamika atmosfer, antara lain kurangnya pertumbuhan awan, sinar matahari langsung dan factor lain.

“Langkah yang harus dilakukan antara lain gerakan penanaman pohon dilakukan selain di kawasan lerang atau gunung juga harus ada gerakan green village di seluruh desa,” kata Zulharman.

Pada sisi lain, suhu panas menyebabkan jumlah pengeluaran masyarakat semakin meningkat, karena konsumsi listrik, di mana penggunaan penyejuk udara seperti kipas angin dan air conditioner meningkat. Demikian juga penggunaan bahan bakar minyak berpotensi lebih cepat menguap.

Sebelumnya Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Guswanto menjelaskan, cuaca panas saat musim hujan terjadi karena kondisi dinamika atmosfer yang memengaruhi cuaca Indonesia, yakni El Nino dan Dipole Mode Positif.

BACA JUGA: Hasil Uji Laboratorium Air “Ingus” Luat di Teluk Bima: Nitrat 6,202 mg per liter di atas Batas Maksimal Kepmen LH

El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Hal tersebut menyebabkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia menjadi meningkat. Sementara itu, Dipole Mode adalah fenomena interaksi laut–atmosfer di Samudera Hindia yang dihitung dari perbedaan nilai atau selisih antara anomali suhu muka laut di perairan sebelah timur Afrika dengan perairan di sebelah barat Sumatera.

Jika Dipole Mode dalam kondisi positif, maka curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat secara umum akan berkurang.

“Hasil analisis kondisi iklim global menunjukkan kondisi El Nino Moderat dengan nilai NINO 3.4 sebesar 1.70 dan nilai SOI sebesar -6.0,” ujar Guswanto dikutip Rabu (3/1/2023).

Guswanto menyebut, nilai DMI sebesar +1.21 juga menunjukkan Dipole Mode Positif. Kondisi El Nino Moderate dan Dipole Mode Positif menunjukkan potensi curah hujan rendah untuk wilayah Indonesia. [B-19]

Follow informasi Berita11.com di Google News

Pos terkait